Dalam kehidupan bermasyarakat, tingginya jenjang pendidikan
seakan menjadi parameter keberhasilan masa depan seseorang. Bangku kuliah
dianggap sebagai penentu profesi yang akan dijalani setelah lulus. Tidak hanya
itu, titel atau gelar pun sangat dipertimbangkan dalam proses mencari
pekerjaan. Namun sebenarnya pendapat tersebut tak sepenuhnya benar. Sukses atau
tidaknya seseorang tergantung pada seberapa keras orang tersebut dalam berusaha,
serta seberapa kuat tekadnya.
Bangku kuliah memang membawa peran penting bagi alur
kehidupan seseorang di masa depan. Masyarakat sudah terlanjur memercayai bahwa
nama seseorang yang di akhir atau depannya ditambahkan embel-embel Prof., Dr.,
atau Ir. merupakan orang-orang sukses. Sebagian besar kebenaran dari anggapan
tersebut tidak diragukan. Namun tetap saja, sebagian berarti tidak sepenuhnya.
Kuliah dan gelar memang setidaknya berpengaruh dalam menentukan jalannya karier
seseorang, namun tidak bagi semua orang.
Di satu sisi, bangku kuliah menawarkan ilmu dan pengalaman
belajar bagi setiap mahasiswanya. Di sisi lain, kuliah hanya bersifat teoritis,
bukan praktis. Sementara dalam dunia yang luas dan kejam ini, hidup tidak
melulu soal teori. Ironisnya lagi, banyak orang berhasil mencapai kesuksesan
tanpa harus menimba ilmu sebagai mahasiswa. Berdasarkan riset yang dilakukan di Eropa dan
diikuti 8.000 perguruan tinggi dari 35 negara, hanya kurang dari 50 persen
alumni bergelar yang siap bekerja. Sementara di tahun 2017, hampir 10 juta
lulusan perguruan tinggi di dunia masih menganggur.
Menilik
dari pokok masalah yang sudah diuraikan, contoh nyata dari kasus tersebut
adalah kisah yang dimiliki Larry Ellison, pemimpin
sekaligus pendiri Oracle, perusahaan piranti lunak ternama di dunia. Ia kini
termasuk salah satu tokoh teknologi tanpa gelar yang memiliki kekayaan yang
luar biasa. Padahal dulunya, Larry adalah seorang yang berasal dari keluarga
sederhana dan gagal di bangku kuliah.
Masa kecil Larry boleh dibilang tidak begitu
menyenangkan. Sejak usia 9 bulan, ia telah divonis
pneumonia atau radang paru-paru. Larry kemudian masuk Sullivan High School dan dan
melanjutkan pendidikan ke Fakultas Fisika Universitas Illinois,
Urbana-Champaign. Sayangnya, ia harus berhenti kuliah karena ibu angkatnya yang
selama ini membiayainya meninggal dunia. Ia pun kemudian mencari kerja
serabutan untuk bertahan hidup bersama sang ayah.
Larry Ellison kembali mencicipi bangku kuliah di Universitas Chichago. Namun,
lagi-lagi ia tidak bertahan lama karena masalah biaya.
Karena termotivasi dari kegagalan menempuh pendidikan,
Larry Ellison kemudian mengikuti kursus komputer. Dengan modal kursus, ia pun diterima
di perusahaan Investasi Fireman’s Fund sebagai teknisi komputer. Kariernya di
perusahaan inilah yang kemudian membawanya sampai sekarang. Di Ampex,
Larry Ellison menemukan sebuah tulisan tentang teori Database relasional yang
ditulis oleh Edgar F. Codd. Karena tulisan itu, ia menemukan ide untuk
membangun sebuah bisnis yang mengusung konsep “Structured Query Language”,
seperti apa yang ditulis oleh Edgar F. Codd. Ia pun mengaplikasikan konsep yang
kemudian dikenal sebagai SQL tersebut ke dalam Sistem Database Server. Ia
menamakan proyek ini dengan nama Oracle.
Jika
melihat kisah Larry Ellison, bisa saja masyarakat jadi berubah pikiran dan
merasa bahwa pendidikan tinggi tidak selalu menjamin kesuksesan. Bekal yang dibutuhkan untuk menuju kata ‘sukses’ adalah
tekad dan kerja keras. Di dunia yang sesungguhnya, IPK dan
gelar hanya akan menghantarkan seseorang sampai ke gerbang wawancara kerja.
Setelah itu, kemampuan dan kemauanlah yang menentukan langkah selanjutnya untuk
berkarier. Sikap kreatif, inovatif, kerja keras, pantang menyerah, kemampuan
berkomunikasi, kemahiran bernegosiasi, hingga kemampuan berbahasa asing akan
dinilai jauh lebih berguna untuk menjamin kesuksesan.
Apakah
kemampuan itu bisa dilatih dengan duduk manis di kelas sembari mendengarkan
dosen memberikan kuliah? Tidak. Soft
skill bisa didapat dari kegiatan organisasi, interaksi dengan masyarakat
sosial, hingga diperoleh dari belajar mandiri. Dengan demikian, tentu tidak ada
alasan untuk untuk bersembuyi di balik frasa “tidak kuliah” untuk enggan
mengejar keberhasilan.
Seorang
wirausahawan pastinya memiliki jiwa optimis, ketekunan
dan kesabaran, tekad kuat, suka bekerja keras, kreatif, dan berani melawan
tantangan. Banyak wirausahawan sukses berasal dari lulusan perguruan tinggi,
tetapi tidak sedikit pula lulusan perguruan tinggi gagal sukses disebabkan
pertahanan mentalnya lemah. Mereka tidak berani menghadapi tantangan hidup dan merasakan khawatir jika harus menjalani sesuatu yang penuh
dengan resiko. Banyak pengusaha gagal disebabkan oleh ketidakmampuan mereka tidak dalam bertahan menghadapi tantangan dalam mendirikan
usahanya. Keuletan dibutuhkan untuk terus mendorong hasrat agar tetap maju. Pendidikan hanya menjadi penunjang, yang terpenting adalah keterampilan
dan keuletan dalam menekuni suatu bidang.
Kisah perjuangan seorang yang gagal
menyelesaikan studi namun sukses menjadi wirausahawan lain adalah Jack Dorsey,
sang pendiri Twitter. Ia awalnya berkuliah
di Missouri University of Science and Technology di mana pada akhirnya ia pun
memutuskan untuk transfer ke Universitas New York dan mendirikan perusahaan sendiri atas hobi membuat software-nya. Tidak bertahan lama di kampus baru, Jack Dorsey memilih untuk
keluar demi berkonsentrasi penuh pada perusahaan yang dirintisnya. Dorsey menciptakan
sebuah website yang saat ini kita dikenal
dengan nama Twitter. Pada 21 Maret 2006, Jack Dorsey diangkat menjadi CEO Twitter.
Orang-orang di atas
telah membuktikan kesuksesan
dapat diraih karena kerja keras dan pantang menyerah.
Meskipun gagal di bangku
kuliah dan tak memiliki gelar, tapi keyakinan mereka untuk fokus
pada tujuanlah yang membuat kesuksesan itu datang hingga menjadikan mereka sebagai orang sukses.
0 komentar:
Posting Komentar