Sabtu, 21 Juni 2014

In Memoriam, Sewol


Prolog
Park Shin Ae Point of View
Seoul, 13 April 2014
@18:43
                “Eomma, tolong bujuk Appa supaya memperbolehkan aku pergi ke Jeju,” rengekku memohon kepada Eomma yang tengah sibuk mencuci selada.
                “Cobalah sendiri,” jawab Eomma datar.
                Aku berbalik menuju ruang tengah. Di sana Appa duduk dengan Shin Mi, adikku. Aku bergabung dengan mereka dan ikut duduk di samping Appa. “Oh, ayolah, Appa! Semua teman sekelasku mengikuti perjalanan itu. Aku tak ingin berdiam di rumah membayangkan senyum bahagia teman-temanku di Jeju besok,” bujukku pada Appa.
                Karena tak mendapat tanggapan, aku naik ke kamarku. Sungguh menyebalkan, bukan? Ketika sekolah mengadakan kunjungan ke pulau tradisional Jeju, dan hampir seluruh siswa tahun ketiga mengikutinya, aku justru tak mendapat izin dari Appa-ku untuk bergabung. Apa yang dipikirkan oleh Appa? Tidakkah ia ingin melihat anaknya gembira? Huh, aku benci konflik!
                Aku melihat sebuah koper dan backpack yang telah kupersiapkan sebelumnya. Jika aku sudah mendapat izin dari Appa nanti, segera aku mem-pack pakaian dan baju-baju yang akan kubawa ke Jeju. Tuhan, jika Appa tetap tidak memberiku izin, maka berilah aku izin untuk tidak patuh padanya. Bagaimanapun aku tetap harus ikut dalam perjalanan itu.
                Kurebahkan tubuhku pada ranjang empuk. Penat rasanya bergulat dengan pelajaran di sekolah hari ini. Maka dari itu aku bersikeras untuk pergi ke Jeju. Siswa tahun ketiga seharusnya menikmati liburan sebelum berjuang di ujian akhir bulan depan. Lagipula selama ini kami selalu mendapat suapan-suapan ilmu studi. Apa salahnya jika kami berkunjung ke Jeju lusa?
Tok… tok… tok…
Terdengar suara pintu kamarku diketuk. Aku membukanya. “Eomma? Ada apa?” tanyaku ketika melihat Eomma di ambang pintu kamarku. Eomma masuk pelan-pelan. Oh, aku masih tak mengerti.
“Ada apa?” tanyaku lagi. Eomma memberiku sebuah amplop yang aku tidak tahu apa isinya. “Ini apa, Eomma? Surat dari siapa?” Aku memburu Eomma dengan berbagai pertanyaan.
“Bukan surat. Itu uang. Bukankah kau ingin ikut ke Jeju lusa? Bukankah besok adalah hari pembayaran terakhir? Bayarkan saja. Jangan katakan pada Appa, ia pasti akan tetap melarangmu pergi,” jelas Eomma.
                Aigoo, aku benar-benar terharu dengan apa yang Eomma lakukan. Aku memeluknya erat. Erat sekali. “Gamsahamnida,” bisikku lirih di telinganya.


Prepare!
Seoul,  14 April 2014
@10:00
Bel istirahat baru saja terdengar, dengan segera aku berlari ke ruangan Guru Kim. Ia adalah ketua program perjalanan wisata kami besok. Dengan hati-hati aku menggenggam amplop yang berisi uang pemberian Eomma. Aku tak ingin amplop itu rusak, terlipat, sobek, apalagi hilang. Benda itu seolah tiket bagiku untuk mengikuti wisata ke Jeju besok sore.
Gamsahamnida,” ucapku seraya keluar dari ruangan Guru Kim setelah membayarkan biaya perjalanan.
Jam tangan yang kupakai menujukkan pukul 10.12, itu artinya waktu istirahat masih 8 menit lagi. Lebih baik aku pergi ke kelas saja. Hatiku sudah lega karena aku benar-benar akan ikut ke Jeju besok, tak peduli Appa memberiku izin atau tidak.
“Park Shin Ae,” ucap suara lirih di belakang telingaku.
“Park Su Hyeon?” dalihku kaget sembari berbalik.
“Maaf membuatmu kaget,” ujarnya kemudian.
“Tidak apa-apa. Mengapa tadi kau memanggilku?” tanyaku sambil melangkahkan kaki menuju kelas. Su-Hyeon mengikuti langkahku.
“Bagaimana? Kau jadi ikut?” tanyanya.
“Tentu saja,” jawabku datar.
“Syukurlah.”
“Mengapa?”
“Aku senang kau bisa mengikuti wisata itu.”
“Bagaimana jika aku tidak jadi ikut?” tanyaku.
“Uhmm, aku…”
Aku bosan berada di dekat namja ini. Entahlah, aku rasa ia selalu canggung jika berbicara denganku. Baiklah, aku pikir aku harus mempercepat langkah kakiku menuju kelas. Ya, aku tahu walaupun itu sama saja. Kami adalah teman sekelas. Tak ada gunanya berjalan lebih dulu kalau akhirnya kami akan bertemu di tempat yang sama.
“Shin Ae,” panggil Su-Hyeon lagi. Namja tadi menarik tanganku dan membuatku berbalik menatap kedua bola matanya. Ahh, mengapa harus dengan Su-Hyeon? Mengapa bukan Jung Cha Woong yang ada di depanku sekarang? “Ada apa?” tanyaku canggung. Su-Hyeon terdiam gugup, sepertinya ia akan mengatakan sesuatu. Dan kali ini aku ingin memberinya kesempatan untuk bicara.
“Shin Ae-yya, aku… menyukaimu. Ini sudah sejak dulu kupendam,” ungkapnya. Aku terkejut tak terkira. Bodoh sekali ia! Mengungkapkan perasaan di situasi dan tempat yang tidak tepat. Ohh, kami masih ada di koridor sekolah.
“Apa?” seruku tak percaya. “Lebih baik jangan katakan hal itu lagi. Bukankah kau tahu bahwa aku menyukai Jung Cha Woong?”
Aku berjalan mendahului Su-Hyeon. Ohh, maafkan aku. Tapi ini tak dapat dipercaya dan membuatku jijik. Ya Tuhan, kupikir aku begitu tega. Namun sudahlah, aku tak ingin hal ini mengubah mood-ku yang tadinya sudah membaik.
@17:00
                Yeah, akhirnya jam pulang telah tiba. Aku tidak sabar untuk mengganti hari ini menjadi besok. Siswa tahun ketiga yang akan berwisata ke Jeju diliburkan dan akan berkumpul di sekolah tepat pada pukul 5 sore, lengkap membawa barang-barang yang akan dibawa.
                Appa belum menjemputku. Seperti biasa, aku berdiri di depan gerbang sekolah bersama Kim Ha Na, sahabat sekaligus teman sebangkuku yang paling baik. “Shin Ae, lihatlah, di sana ada Chawoong!” bisik Ha Na sambil menunjuk Chawoong yang berjalan pulang bersama teman-temannya. “Hey, jangan menunjuk! Aku malu,” sahutku.
                Aku terus melirik Chawoong hingga hilang dari pandangan. Ya Tuhan, namja itu begitu memikat hati. Tampan, pandai, ramah, andHe has a bright smile! Aku suka sekali ketika ia tersenyum, menyapa orang-orang di sekitarnya. Sejak pertama setelah menjadi siswa tahun ketiga, aku telah menyukainya. Sayangnya kami tidak satu kelas. Aku berada di kelas 3.3, dan ia di kelas 3.1  kelas murid-murid unggulan yang memiliki segudang prestasi.
                Membicarakan tentang Chawoong, aku jadi teringat bahwa ia berulang tahun pada tanggal 17 April. Ya Tuhan! Ya, 17 April! Dan pada hari itu kami sedang berada di Pulau Jeju. Benar sekali, aku akan mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya besok lusa. Uhm, Chawoong? 17 April? Ulang tahun? Hey!!
                “Hana, maukah kau menemaniku?” kataku tiba-tiba.
                “Menemani ke mana?” tanya Kim Ha Na.
                “Membeli kado untuk Chawoong.”
                “Ia berulang tahun?” tanya Hana lagi.
                “Tujuh belas April besok, ayolah kumohon!” paksaku. Aku mengeluarkan ponsel untuk memberitahu Appa bahwa aku akan pulang bersama Hana, dan Appa tak perlu menjemputku.
                “Baiklah, tapi jangan terlalu malam,” ucap Hana mengalah.
                “Ahh, terimakasih, Chingu!”
@22:00
                Berkali-kali kupandangi kotak kecil yang terbungkus kertas kado berwarna biru laut di atas meja belajarku. Di dalamnya terdapat sebuah bolpoin mewah. Bolpoin itu bukan sembarang bolpoin, aku membelinya dengan penuh cinta   kurasa itu berlebihan. Maksudku, aku membelinya secara spesial, khusus untuk namja yang selama ini mengisi hatiku. Aku juga merelakan uang saku ke Jeju-ku sebesar 530 Won untuk membeli bolpoin itu. Itupun aku masih harus meminjam uang Hana sebesar 45 Won. Harga yang cukup mahal untuk sebuah bolpoin, bukan?
                Mengapa aku akan memberi Chawoong sebuah bolpoin mewah? Karena aku tahu ia suka sekali menggambar dengan tinta. Ya, selain pandai dalam bidang akademik, ia juga dikenal pandai menggambar dengan bahan tinta. Tuhan begitu murah hati kepadanya.
                “Pukul berapa ini?” gumamku. “Sudah pukul sepuluh lebih ya? Hoamm.”
                Kurasa aku baru saja pulang dari mall, membungkus kadonya, packing barang-barang dan pakaian, dan sekarang sudah sangat malam? Aku mengangkat koper dan backpack ke samping lemari. Aku sungguh tidak sabar untuk besok. Meninggalkan kota Seoul, menuju Incheon, menyeberang laut menuju Pulau Jeju.
                Sebelum mematikan lampu dan bergegas tidur, kebiasaan yang selalu kulakukan adalah mengucap kata selamat malam kepada 6 poster personil boyband Infinite yang terpajang di dinding kamarku. Haha, aku adalah Inspirit atau penggemar fanatik boyband Infinite. Selain Chawoong, keenam personilnya pun merupakan idola hatiku. Mereka begitu tampan dan pintar menyanyi. Ahh, sudah, ini sudah malam. Sebaiknya aku tidur, dan ketika aku bangun nanti, aku mendapati hari telah berganti, dan angka di kalender menunjukkan angka 15. Itu artinya hari keberangkatan tiba. Good Night!

Departure Day
Seoul, 15 April 2014
@16.48
                Aku mengusap lagi wajahku yang merah dan basah oleh air mata. “Sudah, jangan menangis! Cepatlah keluar dari mobil, sayang, teman-temanmu pasti telah menunggu,” ujar Eomma lembut. “Sampai jumpa, Eomma. Katakan pada Appa juga,” jawabku sembari keluar dari mobil.
                Aku berdiri di depan gerbang sekolah untuk memastikan Eomma telah pulang ke rumah. Aku merasakan wajahku lembab oleh bekas tetesan kristal cair yang keluar dari mataku. Ahh, aku malu kalau teman-teman melihatnya. Melihat mataku sembab.
                Maafkan aku, Appa. Aku telah membangkang Appa. Tuhan, ampuni aku. Aku sungguh tidak bermaksud menjadi anak durhaka.
Memori otakku kembali mengingat puluhan menit yang lalu. Saat aku mengangkat koper dan backpack keluar dari kamar.
                “Mau ke mana?” tegur Appa dengan nada tinggi.
                “Aku akan mengikuti perjalanan ke Jeju, Appa,” jawabku.
                “Apakah kau tidak mendengarkan apa yang Appa katakan?” Nada bicara Appa semakin meninggi.
                “Tapi Appa…”
                “Bulan depan kau sudah harus mengikuti ujian akhir, mengapa kau justru bepergian? Jika kau berangkat dari Seoul pukul lima sore ini, kemungkinan kau akan menyeberang dari pelabuhan Incheon pada pukul sepuluh malam. Bagaimana jika terjadi sesuatu di laut? Cuaca buruk sering terjadi di perbatasan Jindo dan Jeju saat malam hari,” sahut Appa marah.
                “Appa tak perlu khawatir. Tidak akan terjadi badai. Lagipula aku pergi bersama siswa-siswi tahun ketiga beserta para guru,” jawabku.
                “Terserah kau! Tinggallah di Jeju dan tak usah pulang! Appa dan Eomma juga tak perlu repot membayar biaya sekolahmu,” bentak Appa seraya meninggalkanku.
                Untung saja saat itu Eomma segera datang dan menyuruhku untuk masuk ke mobil. Aku menurut. Dalam perjalanan dari rumah menuju ke sekolah, tak hentinya aku menumpahkan air mata. Merasa bersalah karena tidak mamatuhi Appa.
                “Park Shin Ae, mengapa masih di sini? Segeralah masuk ke aula untuk mendapat pembinaan,” ujar Guru Lee membuatku tersadar dari lamunan.
                “Ahh, iya, baiklah. Terimakasih,” ujarku sembari menyeret koper menuju aula sekolah.



Incheon, 15 April 2014
@21.25
                Appa benar, kami sampai di pelabuhan Incheon sekitar pukul setengah sembilan malam. Hanya saja Appa kurang 30 menit lagi mengatakannya. Yeah, sekarang kami sedang naik ke atas kapal feri yang akan membawa kami ke pulau tujuan, Jeju. Kapalnya begitu besar, dan aku sempat membaca nama kapalnya, Sewol. Tidak hanya membaca namanya saja, aku, Hana, Hyerin, Jee-Hyun, dan Moon Ra juga telah berfoto di bawah kapal besar ini. Kami jadi merasa begitu kecil bila disandingkan dengan kapal feri sebesar Sewol.
                Sepuluh menit berlalu, Sewol mulai berlabuh. Bergerak menuju lautan lepas, mengapung, dan melawan ombak menuju Pulau Jeju. Di pelabuhan tadi, angin terasa begitu dingin. Go Weather di ponselku menunjukkan angka 10º celcius di kawasan Incheon. Namun sekarang suasana begitu hangat di kapal. Bersama 4 teman sekelasku   Hana, Hyerin, Jee-Hyun, dan Moon Ra, yang juga merupakan teman satu kabin, kami menata barang-barang bawaan kami. Kami akan tidur di kabin nomor 35 dari 110 kabin yang ada di Sewol. Kabin itu ada di lantai 3. Kabin kapal memang begitu sempit, namun tak masalah mengingat bahwa kami tinggal di sini hanya untuk satu malam. Setelah itu kami akan menginap di salah satu hotel di Pulau Jeju.
                “Hey, hey, hey, lihat ke arah kamera!” teriak Jee-Hyun sambil mengarahkan kamera ponselnya kepadaku dan Hana. Seperti yang biasa pelajar Korea lakukan dihadapan kamera, kami berdua tersenyum sambil menempelkan gaya jari peace di pipi.
                “Perlihatkan padaku bagaimana hasilnya!” kata Hana.
                “Ohh, mataku terlihat bagus di foto itu. Unggah foto itu di KakaoTalk, Jee!” pintaku pada Jee-Hyun.
                “Shin Ae, tapi pipimu terlihat besar, hahaha,” canda Jee-Hyun.
                “Dasar!”
                Begitu menyenangkan menghabiskan malam di kabin bersama teman-teman. Berkali-kali kami berfoto, bercanda, bercerita. Aku tidak bisa membayangkan jika saja aku tidak ikut dalam perjalanan ini. Tentunya aku akan sangat menderita di dalam kamar tidurku.
                “Selamat datang di Sewol bagi siswa-siswi beserta para guru Danwoon High School, Seoul. Semoga Anda merasa nyaman dengan perjalanan ini. Jika memerlukan sesuatu, datanglah ke bagian pelayanan di lantai 4. Selamat malam dan selamat beristirahat.”
                Suara loudspeaker kapal menggelegar di seluruh penjuru. Kurasa ini berisik. Lagipula ini sudah pukul 11 malam, tidak sopan mengatakan sesuatu lewat loudspeaker hanya untuk mengucap selamat datang, selamat malam, dan selamat beristirahat.
                “Merasa nyaman dengan perjalanan? Mereka menyediakan kabin saja begitu sempit. Bahkan kamarku lebih luas dari kabin ini,” protes Hyerin.
                “Ssst, jangan mengeluh! Lebih baik ayo kita tidur,” ajak Moon Ra.
                Aku membuka tirai jendela kabin. Ingin kurasakan bagaimana rasanya bergerak di atas laut saat malam hari. Oh, astaga, Chawoong di luar! Ia berdiri sendiri di dek kapal. Apa yang ia lakukan? Ingin rasanya aku mendekat. Tapi apa yang akan kukatakan nantinya? Apakah hanya sekedar say hi? Ohh, itu terlalu membosankan.
                Sesaat aku mengalihkan pandangan pada kotak kecil berwarna biru laut yang kubawa dari rumah. Akankan aku memberikannya sekarang pada Chawoong? Ahh, hari ini bukan ulang tahunnya, Shin Ae! Tapi bagaimana jika aku tidak memiliki waktu untuk memberikan kado itu? 17 April adalah hari di mana kami sedang menikmati liburan di Jeju. Pasti masing-masing dari kami akan sibuk. Ia pasti juga akan asyik dengan teman-teman sekelasnya. Apakah ini saat yang tepat?
@23.15
                “Jung Cha Woong,” ujarku lirih sambil menepuk bahunya. Sontak ia kaget dan berbalik.
                “Apa? Ada apa?” tanyanya masih setengah kaget.
                Aku akhirnya memutuskan untuk mendekatinya. Memutuskan untuk memberikan kado ulang tahunnya pada malam ini. Karena kupikir ini adalah waktu yang sangat cocok. Ia sendirian, berdiri tenang menatap laut.
                “Maaf, aku mengagetkanmu. Aku melihat dari jendela dan mendapatimu berdiri sendirian di dek,” jelasku.
                “Ohh,” ucapnya singkat dengan senyuman terang terhias di bibirnya. Baru kali ini aku mendapat senyuman manis darinya dengan jarak yang begitu dekat.
                “Jung Cha Woong, selamat ulang tahun, aku memberikan ini untukmu,” ujarku akhirnya.
                “Tunggu, tunggu. Aku tak mengerti. Hari ini bukan hari ulang tahunku.”
                “Arasseyo. Tapi selama empat hari kedepan belum tentu kita saling bertemu apalagi berbicara. Kau pasti akan sibuk dengan teman laki-lakimu, dan juga tak mungkin bagiku untuk mendekatimu. Maka kupikir inilah waktu yang sempurna untuk memberikan ini,” jelasku.
                Dengan tangan gemetar Chawoong menerima kado dariku. Sinar mata teduhnya menyiratkan unbelievement  ketidakpercayaan. “Ya Tuhan… Terimakasih, Park. Kaulah yang pertama kali melakukan hal tak terduga seperti ini di hari ulang tahunku. Sekali lagi terimakasih,” ujar Chawoong.
                “Ya, tapi jangan panggil aku Park. Itu nama ayahku. Panggil aku Shin Ae,” candaku. Chawoong tertawa, senang sekali rasanya mendengar dan melihat tawa renyah milik Chawoong. Aku tersenyum, Chawoong juga. Perlahan ia memegang tanganku. Dan…
                “Apa yang sedang kalian lakukan?”
                Sontak Chawoong melepaskan genggaman tangannya dengan cepat. Aku bergeser menjauh. “Sung-Won?” kata Chawoong. Ahh, itu Choi Sung Won, teman sekelas Chawoong.
Karena tak mau terlibat dalam pembicaraan yang tak diharapkan, aku memilih pergi dari dek lantai 3 dan menuju kabin. Ya Tuhan, aku malu sekali pada Chawoong.
“Park Shin Ae, kau dari mana?” tanya Guru An ketika melihatku berlari dari dek.
“Dari luar,” jawabku.
“Cepat tidur, ini sudah malam!”
“Baik, Guru An. Permisi,” pamitku seraya kembali berlari menuju kabin.
Kudapati ruangan gelap dengan penghuninya yang sudah terlelap di dalam kabin nomor 35. Hey, kecuali Hana. Ia masih mengoperasikan ponselnya. Tanpa pikir panjang aku ikut berbaring di ranjang sebelah kanannya.
“Dari mana saja kau?” tanya Hana.
“Dari dek,” jawabku. “Mengapa belum tidur?”
“Huh, aku menunggumu!” ujarnya sedikit kesal.
“Baiklah, baiklah, sekarang aku sudah kembali. Tidurlah!”
Hana mematikan ponselnya dan menarik selimut. Kupikir ia juga menutup matanya kemudian. Ruangan sudah gelap, sepertinya sudah tak tercium adanya kehidupan di kabin nomor 35. Hanya terdengar suara ombak laut yang terpecah dan hembusan angin bak topan haiyan. Aku menaikkan kaos kakiku dan menyusul untuk terpejam. Membiarkan malam ini berangsur-angsur pergi, berganti dengan hari esok dalam damainya pagi.


                  Is the Sewol going to Sinking?
Jindo, 16 April 2014
@7:30
                “Shin Ae, bangunlah! Ini sudah pagi.”
                Kubuka mataku sedikit, sangat sedikit. Kulihat bayangan Hana di depanku, menggoyang-goyangkan tubuhku. Sepertinya ia sudah lama terbangun.
                “Jam berapa ini?” tanyaku malas tanpa membuka mata.
                “Setengah delapan,” jawab Hana.
                “Kita sudah sampai di mana?”
                “Jindo.”
                “Masih jauhkah perjalanan kita?” tanyaku lagi.
                “Cukup jauh.”
                “Kalau begitu biarkan aku menyelesaikan tidurku hingga pukul sembilan,” kataku.
                “Baiklah, tapi pastikan kau tak akan terlambat untuk sarapan. Aku ingin berjalan-jalan di dek-dek dan geladak kapal,” jawab Hana.
                Tanpa mendengarkan perkataan terakhir Hana, aku hanya menarik selimut. Kupikir Hana telah meninggalkan kabin. Aku membuka mata lebih lebar lagi untuk mengetahui ada siapa sajakah yang masih tinggal di kabin. Dan ternyata aku tak menemukan seorang pun. Kuputuskan untuk melanjutkan tidur pagiku yang sempat tertunda.
                Ponselku berdering tanda sebuah pesan masuk. Huh, siapa yang telah mengirim pesan ini? Hampir saja aku terlelap menikmati tidurku, mengapa gangguan kecil mengusikku? Kubuka pesan itu dan menemukan nama Shin Mi, adikku, terpampang di layar. Apakah ia belum berangkat ke sekolah? Ah, sudahlah, aku ingin membaca pesannya.

Unnie, kau sedang melakukan
perjalanan sekolah hari ini?
Pulanglah dengan selamat
dan jangan lupa souvenir
untukku.

     Dengan malas jariku mengetikkan balasan untuk Shin Mi.

Baiklah, aku akan pulang
dengan selamat.


@8:30
                DUUMMPP!!!
                Dengan tiba-tiba aku terbangun karena suara benturan yang sangat keras. Keras sekali, bahkan siapa saja yang ada di dalam kapal dapat mendengar itu dan membuat telinga mereka sakit. “Suara apa itu?” tanyaku pada… Entahlah, tidak pada siapapun, tidak ada orang di kabin. Suara itu begitu keras, layaknya sebuah meteor menghantam bangunan pencakar langit.
                Aku menurunkan selimut dan keluar dari kabin untuk mencari tahu suara apa yang terdengar tadi. Orang-orang dari kabin lain juga keluar dan terlihat kebingunan. Diantara mereka saling bertanya ‘apa yang terjadi?’, ‘suara apakah tadi itu?’ Dengan langkah cepat aku naik ke hallroom utama di lantai 4. Banyak orang mengikuti apa yang kulakukan, mereka semua teman-temanku.
                “Park Shin Ae, apa yang terjadi?” tanya Lee Sae Min, yeoja kelas 3.2.
                “Entahlah, aku tak tahu. Mari mencari tahu di lantai empat!” ajakku.
                Kulewati tangga menuju lantai 4. Para penumpang telah berkumpul di sana. Sama seperti di koridor kabin tadi, mereka saling bertanya ‘ada apa? Ada apa?’. Kulihat Guru Kim yang berdiri diantara siswa-siswi Danwoon High School. Aku memutuskan untuk bertanya kepadanya, “Guru Kim, apa yang baru saja terjadi?” tanyaku setengah panik. “Kami belum tahu. Kurasa bukanlah sesuatu yang berbahaya. Tetap tenang dan tunggu perintah dari kapten,” jelas Guru Kim. Aku sedikit lega mendengar penjelasan Guru Kim.
Oh Tuhan, aku menyadari bahwa aku keluar dari kabin dengan wajah kusutku. Sesegera mungkin aku turun menuju toilet di lantai 1   lantai dasar kapal, untuk mencuci wajah dan membersihkan diri.
“Shin Ae, kau sudah bangun? Baru saja aku berniat untuk membangunkanmu,” seru Hana saat kami berpapasan di tangga lantai dasar. Ia hendak naik, sedangkan aku turun.
“Ya, aku terbangun karena suara keras tadi,” jawabku.
“Menurutmu, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Hana.
“Aku tidak tahu. Tapi Guru Kim bilang ini bukanlah masalah yang serius. So, don’t be panic,” ujarku tenang setelah menemukan sirat kepanikan di wajah Hana.
Arasseyo. Kalau begitu, kau mau ke mana?” tanya Hana setelah sedikit lega.      
“Aku akan mencuci wajahku.”
“Aku akan menunggumu di dining hall untuk sarapan, cepat ke sana!”
Aku menuruni anak tangga selanjutnya. Banyak penumpang di lantai dasar mulai naik ke lantai di atasnya. Sedangkan di sini hanya akulah yang menuju ke bawah.


@8:40
Aku merasakan sesuatu yang tak beres pada langkah kakiku. Mungkin sandalku yang bermasalah ataukah lantai yang menjadi miring. Jika aku diam di tempat beberapa detik, aku merasa kakiku bergeser ke arah kiri    ini seperti berdiri di atas papan miring.
Kini aku kembali naik ke lantai 4. Banyak penumpang yang memilih kembali ke kabin mereka masing-masing. Aku memilih di sini. Menunggu perintah dari Sang Kapten. Karena jujur saja, aku masih khawatir atas suara benturan keras 5 menit lalu. Apalagi kini kejanggalan mulai terjadi. Seperti yang kukatakan tadi, kakiku seperti bergerak ke kiri dengan sendirinya.
“Park Shin Ae,” panggil seorang namja dari arah belakang. Aku berbalik.
“Kau?” Aku sedikit malas bertemu dengan Park Su Hyeon, terlebih setelah kejadian di sekolah lusa.
“Bisakah kita mengobrol sebentar?” tanyanya.
“Apa lagi? Aku tak ingin membahas soal itu,” tolakku.
“Tidak, aku juga tidak ingin mengingatkanmu tentang kemarin. Aku hanya ingin mengobrol denganmu. Apa itu boleh?”
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba goncangan hebat ke arah kiri kapal mulai terasa. Perasaanku mulai tak enak.
BRUUKK!! PYARR!!
Ohh, figura-figura beserta furniture yang ada di lantai 4 jatuh dan pecah. Semuanya melorot ke arah kiri. Aku mulai merasa kakiku semakin ikut bergeser turun ke arah kiri juga. Dengan sigap Su-Hyeon menarik tanganku agar aku tidak terjatuh.
“Bagi semua penumpang, tidak perlu panik dan jangan pergi dari tempat Anda sekarang. Tetap di sana dan jangan bergerak.”
Suara loudspeaker terdengar diperuntukkan bagi para penumpang untuk tidak bergerak. Kurasa ini tak masuk akal. Aku yakin posisi kapal sudah mulai miring. Dengan begitu, berdiam diri adalah perintah yang tidak tepat. Tentu kami semua di sini akan semakin melorot ke kiri.
“Su-Hyeon, apakah suara tadi merupakan suara kapal yang menabrak karang?” tanyaku pada Su-Hyeon yang masih berpegangan tangan denganku.
“Kupikir juga begitu, Sewol benar-benar berada di posisi miring,” jawabnya.
Tidak banyak orang di lantai 4. Hanya ada belasan siswa. Yang lain sudah kembali ke kabin dan mereka akan berdiam di sana hingga perintah kapten selanjutnya.
@8:52
Siapapun yang ada di kapal Sewol sekarang dapat merasakan lantai semakin miring dengan waktu yang begitu cepat. Jangankan figura dan furniture, kini meja dan kursi di lantai 4 sudah mulai meluncur ke arah kiri. Hampir semua barang-barang berserakan tak menentu di sisi kiri ruangan. Ya Tuhan, benarkah Sewol akan tenggelam?
Seorang awak kapal wanita muncul dari ambang tangga lantai 3, ia membawa belasan jaket pelampung. Lebih dari separuh tubuhnya sudah basah kuyub. Aku berlari ke arah awak kapal itu.
Unnie, apa yang terjadi? Mengapa kau basah kuyub?” tanyaku pada awak kapal wanita itu, kulirik nama dada yang terpasang di baju tugasnya. Park Ji Young.
                “Kapal dalam keadaaan miring dua puluh derajat. Bagian kiri lantai dasar sudah terendam air setinggi dadaku. Cepat pakai jaket pelampung ini!” seru Park Ji Young Unnie sambil membagikan jaket pelampung pada penumpang yang ada di lantai 4.
                “Unnie, apakah penumpang lain juga sudah mendapatkan jaket pelampung?” tanyaku.
                “Sudah. Mereka yang ada di lantai satu, dua, dan tiga, telah memakai jaket pelampungnya.”
                “Mengapa kau tak memakai jaket pelampungmu, Nunna?” tanya Su-Hyeon pada Jiyoung Unnie.
                “Aku akan mendapatkannya setelah semua diantara kalian memakainya,” jawab Jiyoung Unnie.
                Aku, Su-Hyeon, dan Guru An membantu Jiyoung Unnie membagikan jaket pelampung itu. Sayangnya, kami berempat tak mendapatkan jaket pelampung tersebut. Aku jadi teringat Hana. Apakah ia sudah mengenakan jaket pelampung? Oh, aku ingat bahwa ia tengah menungguku di dining hall.
                “Jiyoung Unnie, di manakah letak dining hall?” tanyaku lagi pada awak kapal paling bertanggungjawab itu.
                “Ada di lantai tiga.”
                “Aku akan ke sana,” ujarku.
                “Hey, kau belum mengenakan jaket pelampung, itu bahaya!” tegur Jiyoung Unnie.
                “Kau juga,” sahutku seraya pergi turun ke lantai 3 menuju dining hall. Sedangkan itu Su-Hyeon mengejarku, tapi aku menyuruhnya untuk menjauh. Ia kembali naik ke lantai 4.


Everything is Tilting
Jindo, 16 April 2014
@9:05
                Kapal semakin miring, miring, dan semakin miring. Aku begitu sulit berjalan karena berkali-kali terpeleset ke arah kiri. Sungguh buruk keadaannya. Namun aku tetap tak menyerah mencari Hana di dining hall.
                “Oppa, di mana Eomma?” kata seorang gadis kecil kepada kakak lelakinya.
                Aku terkejut melihat gadis kecil yang berumur sekitar 5 tahun itu berjalan merambat bersama kakaknya  yang berumur tak jauh darinya. Sang Kakak memakaikan jaket pelampung pada adik kecilnya, sedangkan dirinya sendiri tak memakai. Aku mendekati mereka berdua.
                “Adik-adik manis, di mana orang tua kalian?” tanyaku lembut.
                “Tadi Eomma mencarikan adikku jaket pelampung. Ia belum mendapatkannya. Tetapi sampai sekarang Eomma belum kembali,” jawab Sang Kakak.
                Aku iba sekali melihatnya. Andai saja aku memakai jaket pelampung, aku akan memberikan itu pada mereka. Sehingga mereka berdua memakainya. Namun sayang sekali akupun tak mendapatkan.
                “Unnie, apa yang terjadi dengan kapal ini?” tanya Sang Kakak padaku.
                “Kapal ini hanya miring. Jangan khawatir, para awak kapal akan membuatnya normal kembali,” jawabku untuk membuat mereka lega. “Astaga, maaf. Aku harus mencari temanku. Kalian jangan ke mana-mana. Aku akan kembali ke sini,” tambahku.
                Sang Kakak mengangguk. Aku yakin bahwa 2 anak kecil ini pasti akan menurut. Mustahil bagi mereka untuk menyusuri lorong kapal sendirian dalam kemiringan yang parah. Aku berlari mencari dining hall, namun aku akan kembali ke sini untuk menyelamatkan mereka.
                “Hana!” teriakku ketika berhasil menemukan ia tanpa jaket pelampung . “Astaga!” Aku berseru kaget karena keadaan dining hall lebih parah dari ruang-ruang yang telah kulewati. Masakan-masakan tumpah, piring dan gelas hancur berkeping-keping. Sedangkan kulihat Hana duduk bersandar pada tembok menahan tubuhnya untuk tidak tergelincir jatuh.
                “Kau bodoh, mengapa tak pergi dari sini? Jika kau terpeleset, kau akan terluka karena pecahan piring dan gelas,” kataku pada Hana.
                “Kita tidak diperbolehkan untuk berpindah tempat. Aku pun takut jatuh,” jawab sahabatku itu.
                “Itu adalah perintah bodoh! Untuk apa kita berdiam diri di tempat, sementara kapal terus bergerak miring? Aku rela turun dari lantai empat untuk mencarimu!” balasku sembari menarik tangan Hana dan mengajaknya keluar dari dining hall.
                “Kita akan ke mana?” Hana bertanya.
                “Kita harus menemukan pintu menuju geladak kapal. Itulah tempat teraman untuk selamat.”
“Sungguh, aku kesulitan untuk berjalan. Lantainya begitu miring, Shin Ae,” ujar Hana mengeluh.
“Ini bukan saatnya untuk banyak bicara, Hana. Tetaplah berusaha untuk berjalan, tak peduli berapa ratus kali kau terpeleset,” jawabku.
                “Apakah Sewol akan tenggelam?”
                “Jangan bertanya begitu, yang terpenting kita harus keluar dari sini.”
                Aku berjalan memimpin dan terus menarik tangan Shin Ae. Perjalanan ini dua kali lebih sulit dibandingkan saat aku turun dari lantai 4 tadi. Ini semua akibat lantai juga dua kali lebih miring dari sebelumnya.
                Aku kembali ke tempat kakak beradik tadi berdiam diri. Namun mereka tak ada. Ya Tuhan, di mana mereka? Sangat berbahaya jika 2 orang anak kecil yang masih terlalu polos, berjalan berdampingan dalam kapal yang hampir tenggelam ini. Apalagi Sang Kakak tak memakai jaket pelampung. Apakah ibunya sudah kembali? Kuharap begitu. Semoga mereka berada di tempat yang aman bersama ibu mereka.
                Hana dan aku terus berusaha keras untuk dapat berjalan di atas lantai yang miring. Segalanya miring. Namun aku tetap bertekad untuk menemukan pintu menuju geladak.
“Hana, bukankah tadi pagi kau bilang bahwa kau berjalan-jalan di dek dan geladak kapal?” Hana mengangguk. Aku baru ingat, pasti Hana mengetahui pintu menuju geladak.
                “Di mana pintu menuju ke sana?” tanyaku lagi.
                “Apakah kau ingat? Kita tadi bertemu saat aku akan naik ke lantai dua dan kau hendak ke toilet. Saat itu aku baru saja dari geladak. Itu berarti pintu ke geladak ada di lantai dasar,” jawabnya.
                Lantai dasar? 15 menit yang lalu Jiyoung Unnie mengatakan bahwa permukaan air di lantai dasar sudah mencapai dadanya. Lalu sekarang? Dengan posisi kapal yang semakin miring ke kiri, tentu saja permukaan air yang masuk juga semakin tinggi. Jika aku dan Hana turun ke lantai dasar, sama saja aku mencari marabahaya.
                “Apakah kau tahu pintu lain selain yang ada di lantai dasar? Air sudah menggenangi lantai itu,” kataku.
                “Aku tak tahu lagi, Shin Ae. Aku takut,” ujar Hana dengan butir-butir air mata yang turun di pipinya.
                Dari kejauhan kulihat Jiyoung Unnie berlarian dengan panik. Aku berlari mendekatinya. Semakin aku berusaha sekuat tenaga untuk berlari, rasanya lantai menjadi semakin miring. “Jiyoung Unnie!” panggilku menghentikan langkahnya. “Kau mau ke mana? Bolehkah aku minta dua buah jaket pelampung?” kataku melanjutkan.
                “Aku kehabisan jaket pelampung. Persediaan ada di lantai dasar, sedangkan air sudah menggenangi lantai dua bagian kiri. Aku akan menyelam dan mengambil pelampung di gudang persediaan,” jelasnya.
                “Unnie, jangan bertindak gila! Hal itu membahayakan nyawamu!” sahut Hana.
                “Tapi keselamatan penumpang adalah yang utama bagiku,”
                “Tapi Unnie, menyelam dalam kapal yang tenggelam tidak menutup kemungkinan bahwa kau juga akan tenggelam! Pergilah dan cari cara lain untuk menyelamatkan kapal tanpa melakukan hal yang tidak wajar. Segera telepon pihak 119!” sergahku.
                “Aku telah dilatih untuk menghadapi hal itu. Awak kapal pergi terakhir. Aku akan keluar setelah menyelamatkan semua temanmu,” jawab Jiyoung Unnie dengan pendirian teguhnya.
                “Baiklah. Semoga Tuhan melindungimu,” kataku kemudian. Jiyoung Unnie tersenyum sedih dan berlari menuju lantai dasar.
@9:15
                Aku dan Kim Ha Na berhasil mencapai lantai empat. Orang-orang yang ada di sana tidak berubah, hanya saja Su-Hyeon tidak terlihat lagi. Itu bagus. Akan tetapi keadaan sangat buruk dan semakin memburuk. Kemiringan kapal sudah mencapai 45º. Seluruh barang-barang berjatuhan. Teman-teman perempuanku menangis, temasuk Hana. Beberapa saat kemudian loudspeaker kembali berbunyi.
                “Para penumpang, kami informasikan sekali lagi untuk tidak berpindah dari posisi Anda. Bersiaplah untuk situasi berbahaya.”
                Perintah bodoh! Perintah itu hanya akan membunuh para penumpang. Apa yang ada di pikiran para awak kapal itu? Apakah mereka tidak memikirkan keselamatan penumpang? Sampai sekarang hanya kutemui satu orang awak kapal yang berbudi mulia  Park Ji Young Unnie. Ahh, Jiyoung Unnie. Apakah ia selamat? Tuhan, tolong lindungi pahlawan itu. Ia rela berkorban demi keselamatan para penumpang. Jika aku tidak akan pernah melihat sosoknya lagi, berikan ia tempat terindah di taman surgawi.
                Di lantai 4, para yeoja menangis. Mereka berpegangan tangan, erat sekali. Berharap pegangan itu tidak terlepas dan mereka tidak akan meluncur ke sisi kiri kapal. Aku sangat sedih melihat mereka patah semangat menanti waktu kematian.
                “Ya Tuhan, tolong kami!” teriak siswi kelas 3.6 dengan putus asa.
                “Aku lelah, tolong aku.”
                “Kita harus melaksanakan ujian akhir bulan depan,” sahut yeoja di sampingnya.
                “Benar, aku ingin melanjutkan ke universitas.”
                “Akankah nasib kita akan sama seperti Titanic?” tanya Angel Lee, teman sekelasku.
                “Ohh, aku takut. Aku tidak ingin tenggelam,” ujar siswi dari kelas 3.1 sambil terisak.
                “Apakah Sewol benar-benar akan tenggelam?”
                “Ya, benar. Seriously, it’s shaking and we are going to die,” jawab Eun Soo sambil memeluk kedua lututnya.
                “Aku tidak ingin mati. Aku ingin bertemu Eomma,” kali ini Hana menimpali. Ia menangis tersedu.
                Aku memutuskan untuk tidak bicara. Sebenarnya aku tidak ingin melihat teman-temanku di sini putus asa, namun akupun tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Di lantai 4, hanya akulah satu-satunya yeoja yang tidak menangis. Aku yakin aku bisa keluar dari sini.
                “Hana, kau ingin keluar dari sini?” bisikku ke telinga Hana.
                “Tentu saja,” jawabnya.
                “Meskipun perjuangannya begitu sulit?”
                “Tak apa, aku ingin selamat.”
                “Meskipun kita harus berpencar?”
                “Shin Ae?” ucap Hana lirih.
                “Kau bilang kau ingin selamat, ayolah! Tak apa, tak ada yang perlu ditakutkan. Ini hanya seperti permainan mencari jejak. Kita berpencar untuk menemukan pintu menuju geladak. Dan kita akan bertemu di geladak nanti,” jelasku.
                “Bagaimana jika kau menemukan pintunya lebih dahulu, sedangkan aku belum?”
                “Aku berjanji aku akan mencarimu dan membawamu ke sana,” janjiku.      
                “Lalu, jika aku sudah menemukan pintunya dan kau belum?”
                “Kau tak perlu mencariku. Aku bisa menjaga diriku sendiri bagaimanapun caranya. Kita akan bertemu di geladak dan kita selamat,” ujarku.
                “Aku takut kita tak akan bertemu di geladak,” Hana meneteskan air matanya. Sementara lantai bergerak lebih miring, dan lebih miring lagi, membuat aku tergelincir dan melorot. Untung saja Hana menarikku dan segera membantuku berdiri. “Kau lihat, bukan? Impossible for us to walk on the floor. Aku tidak yakin aku bisa sampai di geladak nantinya. Lalu, kita tak bertemu di sana,” ucapnya.
                “Jika kita tak bertemu di sana, aku akan pastikan bahwa kita akan bertemu di pelabuhan,” jawabku. Hana mengangguk, memberikan senyuman kekhawatiran. “Hana, kau menyusuri koridor depan, aku akan menyusuri koridor belakang, hwaiting!” ujarku.
                “Sebelum terlambat, aku ingin mengatakan bahwa aku menyayangimu, Shin Ae.” Segera setelah mengucapkan kalimat itu, Hana berlari ke koridor depan. Berlari di atas kemiringan kapal yang begitu buruk. Semoga beruntung, sahabatku!

This is the End of Me
@9:25
                Aku berlari menuruni tangga ke lantai 3. Aku ingin mengambil ponselku yang tertinggal di dalam kabin terlebih dahulu. Aku ingin menghubungi keluargaku. Aku ingin mengabarkan semuanya.
Yang membuatku begitu terkejut, semua orang, semua penumpang, semua teman, semua siswa dan guru yang ada di kapal ini begitu mematuhi perintah kapten. Mereka memilih untuk berdiam diri dan berputus asa di dalam kabin mereka masing-masing. Seharusnya mereka sadar bahwa perintah itu telah membodohi mereka. Astaga, Ya Tuhan, bahkan berpuluh-puluh siswa dari Danwoon High School memilih untuk duduk-duduk di koridor. Kesemuanya dari mereka memakai jaket pelampung. Sedangkan aku dan Hana yang bersusah payah menyelamatkan diri, justru tak mendapatkan jaket pelampung.
                “Astaga! Mengapa kalian di sini?” seruku kaget saat mendapati Hyerin, Jee-Hyun, Moon Ra   teman satu kabinku, justru berbaring santai di atas ranjang kabin dengan memakai jaket pelampung.
                “Astaga, mengapa kau panik? Kita semua akan mati di sini,” jawab Hyerin.
                “Tidak akan!”
                “Shin Ae, Sewol sebentar lagi akan tenggelam. Lantai dua sebelah kiri telah tenggelam total, dan sebentar lagi giliran lantai tiga. Lantai yang sekarang kita injak,”sahut Moon Ra.
                “Hey, semua, ayo kita berfoto. Ini adalah moment terakhir kita untuk bisa mengabadikan suatu peristiwa. Ayo kita lakukan selfie untuk mengabadikan detik-detik tenggelamnya kapal feri Sewol,” kata Jee-Hyun.
                “Shin Ae, ayo berfoto bersama kami. Ini menyenangkan. Posisi kapal dan lantai miring sembilan puluh derajat, tegak lurus dengan laut. Jika terfoto, kita terlihat seperti melawan gravitasi. Hebat, bukan?” ajak Moon Ra.
                “Mengapa kalian menyerah dengan mudah? Tuhan yang akan memberikan jalan, bukan kapten itu! Mengapa kalian memilih untuk berdiam di sini?” sergahku sambil berupaya mengendalikan emosi.
                “Tolong para penumpang untuk tidak berpindah dari tempat Anda. Kenakan jaket pengaman dan pastikan itu sudah terikat.”
                Lagi-lagi pengumuman konyol terdengar di saat menegangkan seperti ini. Mengapa semua penumpang terlalu mempercayai Sang Kapten? Bisa saja kapten menginformasikan pengumuman itu dengan alasan agar ia dan para awak kapal bisa kabur melarikan diri.
                “Kau dengar, Shin Ae? Mereka terus meminta kita untuk berdiam di tempat. Mereka jauh lebih berpengalaman dibandingkan kau,” tutur Hyerin lagi.
                “Sudah, sudah. Aku tengah merekam kalian. Ayo, katakan sesuatu sebelum kita mati,” sahut Jee-Hyun.
                “Appa, Eomma, Oppa, Unnie, I love you,” seru Moon Ra di depan kamera ponsel milik Jee-Hyun.
                “Aku yakin, kita akan menjadi topik berita terbaru di televisi. Kita juga akan menjadi trending topic world wide di twitter, dengan hastag Pray For South Korea atau Pray For Sewol, hahaha,” timpal Hyerin.
                “Seandainya aku hidup, pasti aku akan masuk di layar televisi,” sahut Jee-Hyun.
                Dengan cepat aku mengeluarkan barang-barang dari backpack-ku. Mengambil ponsel dan kartu pelajar. Aku memilih untuk segera keluar dari kabin. Aku tidak tahan mendengar mereka terus melontarkan kata-kata penuh keputusasaan seperti itu. Aku berlari meninggalkan mereka semua.
                Bertepatan dengan keluarnya diriku dari koridor kabin, kusadari air laut mulai mencapai ujung tangga lantai 3. Ya Tuhan, aku harus segera naik! Aku melihat seorang namja dengan pelampungnya bersusah payah untuk mencapai lantai 3. Aku tidak tega untuk meninggalkannya terapung-apung.
                “Hey, pegang tanganku!”
                Namun namja tadi berhasil keluar dari air tanpa menerima uluran tanganku. Astaga, Chawoong! “Jung Cha Woong, kau tak apa-apa?” tanyaku panik.
                “Gwaenchana, hey, di mana Sung-Won dan Yoo Shi Rin? Kau melihatnya, Shin Ae?”
                “Aku hanya melihatmu saja. Aku tak melihat mereka,” jawabku.
                “Gawat! Mereka masih ada di lantai dua. Shin Ae, pergilah! Jangan tunggu aku! Khawatirkan nyawamu sendiri!” ujar Chawoong.
                “Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
                “Aku akan menyelam untuk menyelamatkan mereka. Pakailah jaket pelampungku!” Chawoong melepas jaket pelampung miliknya dan memakaikannya di badanku.
                “Bagaimana denganmu?”
                “Aku tidak akan bisa menyelam jika jaket pelampung masih terpakai di tubuhku. Lagipula kau tidak memakainya, jadi pakailah saja milikku,” jawab Chawoong.
                “Tidak, jangan lakukan itu, Chawoong. Kumohon! Aku mengkhawatirkanmu,” cegahku.
                “Besok adalah hari ulang tahunku. Apa salahnya jika aku berkorban? Jika hidupku memang harus berakhir, setidaknya aku telah berusaha menyelamatkan nyawa orang lain,” jelasnya. Ohh, aku sedih sekali mendengarnya. Baru kali ini aku mampu membuang setetes air mataku. “Pergilah sekarang, Shin Ae! Kapal akan terbalik dan air semakin naik.”
                “Jangan kembali ke bawah, Chawoong! Aku mohon,” Aku menangis memeluknya. Memeluknya erat sekali. Aku tak ingin kehilangan orang yang kucintai.
                “Aku tidak akan kembali ke daratan tanpa dua sahabatku. Sampai jumpa, Shin Ae. Jangan tunggu aku. Doakan saja agar aku tetap bisa menghirup oksigen setelah menit berikutnya,” Chawoong melepaskan pelukanku.
“Ohh, tidak, tidak,”
Terlambat. Chawoong telah melompat dari lantai 3 dan menyelam dalam dinginnya air laut yang menggenangi bilik kiri lantai 2. Tuhan melindungimu, Chawoong!
@9:30
Kurasakan goncangan yang lebih besar. Ya Tuhan, kapalnya terbalik. Benar sekali, kapalnya mulai terbalik. Sedangkan aku belum bisa naik ke lantai 4 dan menemukan pintu ke geladak. Bagaimana dengan Hana?
Dengan susah payah aku berjalan pada dinding kapal yang miring horizontal, benar-benar horizontal. Juga merangkak pada tangga menuju lantai 4 yang sudah miring 180º.
Aku bisa merasakan kapalnya mulai karam, dengan jelas aku merasakannya. Aku juga bisa melihat ke arah jendela, terlihat kapal bergerak turun. Jelas sekali. Terdengar jeritan-jeritan tangis anak-anak perempuan.
“Aku ingin keluar, tolong aku!”
“Kami tidak ingin mati!”
“Ayah, Ibu, aku ingin melihatmu!”
Aku menutup telingaku mendengar jeritan-jeritan itu. Lalu kulihat ada beberapa siswa dari Danwoon High School berkumpul bersama Guru Kim. Aku memutuskan untuk mendekati mereka sebentar.
“Guru Kim, Guru Kim!” panggilku dengan nafas terengah-engah.
“Shin Ae?” ujar Guru Kim dan beberapa anak-anak lain ketika melihatku.
“Apakah sudah ada yang melapor ke pihak 119? Apakah ada yang akan membantu kita?” tanyaku.
“Sudah. Dua puluh orang temanmu sudah menelepon ke 119. Dengar, suara helicopter mulai terdengar samar-samar. Mereka akan menolong kita, jangan takut,” jelas Guru Kim.
“Shin Ae, apakah kau membawa ponselmu? Tolong pinjamkan padaku. Pulsaku sudah habis untuk menelepon 119, dan aku belum menghubungi orang tuaku,” kata Han Seung Jin, namja yang telah menghubungi pihak 119.
“Baiklah, tapi sisakan untukku juga. Aku juga belum menghubungi keluargaku.”
5 menit berlalu, Seung Jin telah mengembalikan ponselku. Aku berpamitan kepada Guru Kim dan anak-anak lain bahwa aku akan menuju geladak kapal. Mereka bersikeras melarangku pergi, tapi aku juga bersikeras untuk pergi. Dengan merangkak, aku melarikan diri dari kerumunan siswa Danwoon itu. Sebelum aku pergi, aku sempat mengucap, “Semuanya, aku menyayangi kalian. Aku menyayangi Danwoon High School.”
@9:40
Suara helicopter menderu-deru tepat diatas kapal yang diambang maut ini. Kurasa para tim penolong dari 119 sudah datang. Ini saat bagiku untuk keluar dari kapal. Aku benar-benar ingin menemukan pintu menuju geladak.
Sewol semakin tenggelam lebih dalam. Lantainya yang biasanya diinjak kini menjadi berupa dinding vertikal, sedangkan dindingnya kini berubah menjadi lantai yang kubuat untuk berjalan.
Kulihat seorang yeoja dengan kesulitan berlari ke arahku. Aku tahu ia, yeoja itu adalah Young On You dari kelas 3.2. Ia sendirian, memakai jaket pelampung.
“Park Shin Ae, ikuti aku! Aku menemukan dek kapal. Ayolah, kau adalah orang pertama yang kutemui setelah aku berhasil menemukannya. Ikuti aku!” seru Young.
“Benarkah itu?” tanyaku dengan berseri-seri.
“Ya, ayo sekarang ikuti aku! Kita bisa selamat.”
“Apakah dek-nya dekat dengan geladak?” tanyaku lagi.
“Aku tidak tahu. Kurasa sangat jauh. Aku mohon, sekarang ikutlah denganku. Kau akan selamat,” ujar Young.
“Maaf. Aku tak bisa, Young. Kim Ha Na sedang menungguku di geladak. Aku hanya ingin menemuinya di sana. Pergilah sendiri.”
“Apa? Kau tak mungkin selamat, Shin Ae. Kapalnya sudah terbalik!” kata Young kesal.
“Tapi aku akan menjadi sahabat yang munafik ketika mengingkari janjiku pada Hana! Kalau kau ingin selamat, pergilah saja sendiri. Aku akan tetap pergi ke geladak,” bantahku.
“Mengapa kau seperti itu? Coba kau pikir, aku telah berhasil menemukan dek kapal dan mengajakmu untuk ke sana. Setelah itu aku kembali masuk untuk menyelamatkan satu diantara teman-temanku. Dan aku menemukanmu, aku mengajakmu keluar dari sini. Shin Ae, jika saja lima detik lagi kapal ini karam dan aku tenggelam, bukankah aku telah menyia-nyiakan usahaku untuk menyelamatkan diri?” Shin Ae menangis karena kecewa. “Aku bisa saja duduk di dek dan menunggu tim penyelamat datang. Namun aku tidak egois, aku ingin menemukan seseorang dan kita selamat bersama. Tolong hargai usahaku!”
Aku memeluk Young. Maafkan aku, Young. Aku memang egois. Sangat egois. Tapi aku akan lebih egois jika aku mementingkan nyawaku, sedangkan aku tak tahu apakah Hana sudah ada di geladak atau belum. Young melepaskan pelukanku, “Shin Ae, aku akan kembali ke dek,” ucapnya.
“Semoga beruntung, air sudah hampir menenggelamkan lantai ini. Cepatlah berlari sebelum...” jawabku.
Tanpa menyelesaikan perkataanku yang terakhir, Young pergi ke arah yang sama saat ia datang tadi. Sedangkan kurasakan Sewol terus bergerak turun. Aku begitu berharap agar Young On You selamat. Jika saja harapanku ini pupus, aku anggap bahwa aku berhutang budi kepadanya.
@9:45
Aku semakin tak mengerti dengan koridor-koridor yang kulalui. Begitu banyak koridor hingga membuatku bingung manakah yang akan kulewati. Hingga akhirnya aku tersadar bahwa aku tersesat. Aku benar-benar tak tahu aku ada di bagian mana.
“Shin ae, Shin Ae!”
“Su-Hyeon! Syukurlah kau di sini. Mengapa kau tak memakai jaket pelampung?” kataku sedikit lega setelah melihat Su-Hyeon.
“Bukankah tadi kita kehabisan pelampung? Lalu dari mana kau mendapat pelampung itu?” tanyanya.
“Chawoong.”
“Chawoong? Di mana ia? Apakah ia hidup?”
“Entahlah.” Aku sedih membicarakan tentang Chawoong. Kemungkinan ia sudah lebih dahulu... Ah, aku tak mau mengatakannya. “Kita ada di mana?”
“Kita ada di bilik kanan kapal. Paling kanan. Jika kita tenggelam, kitalah yang paling akhir,” jelasnya.
“Mengapa bisa begitu?”
“Air masuk ke kapal ini melewati bagian kiri kapal. Dan kita berada di sebelah kanan. Saat ini air telah menenggelamkan lebih dari separuh badan kapal, terlebih bagian kiri. Kita seolah berada di puncak. Namun bagaimanapun puncak itu juga akan tenggelam,” jelas Su-Hyeon lagi.
Aku menepi ke bagian jendela berukuran raksasa yang berada di sebelah kanan kapal. Di sana, di luar, tim penyelamat sudah beraksi. Kulihat puluhan siswa berhasil keluar dari kapal. Ya Tuhan, mereka berhasil keluar. Aku juga harus bisa. Astaga, Hana ada di sana! Tepat di sana! Ia berhasil naik ke perahu penyelamat. Astaga, Hana selamat!
“Hana! Kim Ha Na! Lihat ke arahku! Aku ada di jendela ini!” teriakku histeris sambil melambai-lambaikan tangan ke arah luar, berharap Hana menyadari keberadaanku. “Hana! Lihatlah ke arahku! Pak Shin Ae di sini!” teriakku lagi.
“Su-Hyeon, kita harus pecahkan jendela ini!” kataku pada Su-Hyeon yang berdiri di belakangku.
“Percuma saja, kacanya begitu tebal. Aku sudah mencobanya,” jawab Su-Hyeon.
“Jangan menyerah!” Aku mengambil kursi dan memukulkannya keras ke arah jendela. Benar kata Su-Hyeon, kaca jendela begitu tebal. Sekali lagi, aku tak akan putus asa! Kupukulkan kursi itu pada jendela berkali-kali, namun kacanya tidak mudah untuk dipecahkan.
Aku kembali menatap ke luar. Air semakin naik dari arah luar dan belakang. Sepertiga jendela sudah tertutup oleh permukaan air laut. Jika aku memecahkan jendela itu, makai air akan meluap masuk. Sedangkan dari belakang, air mulai menenggelamkan bagian kanan kapal. Ohh, apa yang harus kulakukan?
Aku menatap ke luar lagi. Hana dan puluhan siswa lain telah selamat. Astaga, kulihat gadis kecil yang kutemui tadi! Syukurlah ia selamat. Sebuah jaket pelampung yang diberi oleh kakaknya masih terpakai di tubuh mungil itu. Seorang siswa laki-laki berhasil menggendong dan membawa gadis itu dari Sewol. Tapi di mana Sang Kakak? Kakak yang begitu menyayangi adiknya itu. Kakak yang telah memberikan jaket pelampungnya pada Sang Adik. Semoga saja ia selamat. Kuperhatikan para penumpang yang berhasil keluar. Mereka berada di sebuah kapal feri yang mengangkut para korban selamat. Seketika timbul sebuah dorongan di hatiku untuk bisa berkumpul lagi dengan mereka. Dorongan yang menguatkan tekatku untuk hidup. Ayolah, Tuhan, bantu aku!
Kuangkat kursi setinggi yang kumampu, kulemparkan keras ke jendela raksasa itu. Berharap jendela itu segera pecah, tak peduli seberapa banyak air laut yang akan masuk. Kuangkat lagi kursi itu, “Shin Ae, sudah, sudahlah! Tidak ada harapan lagi! Jika kau memecahkan jendelanya, air laut tentu akan masuk dan menenggelamkan kita lebih cepat!” bentak Su-Hyeon sembari merebut kursi itu dariku. Dengan cepat aku merebutnya kembali. Sekali lagi kuayunkan keras kursi pada jendela. Jangankan pecah, retak sedikitpun tidak. Jendela ini sangat kuat. Tenagaku habis karena telah berusaha memecahkannya.
Aku lemas. Aku tak berdaya. Aku tak sanggup lagi berdiri. Air mata turun dengan derasnya dari mataku. Tuhan, aku menyerah. Tuhan, aku telah menyerah.
Aku duduk bersimpuh memeluk lutut. Aku terperangkap. Aku tak mungkin selamat. Benar kata mereka, kami semua akan tenggelam. Aku akan mati. Nasib kami akan sama seperti Titanic. Aku tak akan bisa bertemu dengan teman-temanku, dengan Hana, dengan Chawoong. Aku tak bisa menonton konser Infinite di Seoul. Aku tak bisa mengikuti ujian akhir bulan depan. Padahal Appa sangat berharap aku bisa lulus dan masuk ke perguruan tinggi di Cheongju.
Appa? Eomma? Aku menangis mengingat mereka. Aku ingat sekali pertemuan terakhirku dengan mereka. Aku telah tega mengecewakan Appa. Ohh, Appa benar, perjalananku berakhir dengan duka.
Aku mengeluarkan ponselku dan mengetikkan pesan untuk Appa.
Appa, maafkan aku karena
telah mengecewakanmu.
Appa, tolong maafkan aku.
Aku menyayangimu.
     Setelah Appa, aku menulis pesan untuk Eomma. Ohh, aku tak bisa membayangkan begitu pedih hati Eomma ketika mendapatiku sampai di rumah dalam keadaan tak bernyawa.

Eomma, aku tahu bahwa
Aku tak akan lagi bisa
Mengatakan ini. Eomma,
terimakasih, Eomma maaf,
Eomma, I love you

     Untuk yang terakhir, aku menulis pesan untuk adikku, Shin Mi. Ya, ia begitu berharap aku bisa pulang dengan selamat. Dan ketika aku pulang, aku membawakannya souvenir dari Jeju. Tapi itu semua tak mungkin bisa kulakukan.

Aku tak mungkin bisa
membelikanmu souvenir. Maaf.

Aku semakin histeris membayangkan wajah keluargaku. Su-Hyeon mendekatiku dan memelukku erat sekali. “Inilah yang ingin kulakukan sejak dulu kepadamu. Aku ingin memelukmu seperti ini. Jika Sewol tidak tenggelam, aku tak mungkin bisa melakukannya. Tak apa aku mati, setidaknya hal yang paling ingin kulakukan telah terwujud. Jangan menangis, kita harus mati dengan tenang,” ucap Su-Hyeon berbisik di telingaku.
@9:50
                Sewol hampir sepenuhnya tenggelam. Air sudah menggenangi leherku ketika aku duduk. Meskipun begitu, aku tak mau berdiri. Su-Hyeon berkata bahwa kami harus mati dengan tenang. Kami masih berpelukan. Kami mencoba tenang. Kami biarkan air lama-kelamaan naik, hingga mencapai ujung kepala sekalipun. Akan tetapi jaket pelampung membuatku mengapung. Sedangkan Su-Hyeon yang tak memakai pelampung, mengencangkan pelukannya kepadaku, membuat aku tetap duduk menyentuh lantai. Aku melepas pelukannya. Setelah itu aku melepas jaket pelampungku.
                “Mengapa kau melepas jaket pelampungnya?” tanya Su-Hyeon.
                “Agar kita bisa memakainya bersama-sama,” jawabku.
                “Tidak, pakailah sendiri! Lebih baik aku mati terlebih dahulu tanpa jaket pelampung.”
                “Tolonglah, Su-Hyeon. Pakai ini di salah satu lenganmu, dan aku juga akan memakainya di satu lenganku,” desakku padanya.
“Pakailah pelampung itu untuk keselamatanmu sendiri.”
“Aku tidak akan selamat. Semua penumpang juga memakai pelampung, tapi aku yakin, sekarang mereka sudah tak bernyawa.”
“Mengapa kau melakukan itu untukku?”
                “Agar kau bisa memelukku lagi. Ayolah, air laut begitu dingin menggenangi tubuhku,” desakku lagi. Ia menurut dan memakai  pelampung itu di lengan kirinya. Air sudah mencapai mulutku. Aku merasakan begitu asin air itu.
                “Shin Ae, bibirmu membiru,” bisik Su-Hyeon pelan.
                “Aku kedinginan. Aku takut,” ucapku dengan suara bergetar. Berusaha menaikkan dagu agar dapat tetap berbicara.
                “Tidak usah takut.” Su-Hyeon merangkulku. Kusandarkan kepalaku di dadanya.
                “Terimakasih Su-Hyeon. Aku akan tidur sekarang, biarkan aku terlelap di dadamu, aku kelelahan, aku sudah kedinginan. Sampai jumpa,” kataku untuk yang terakhir kali. Dan inilah detik-detik akhir dari hidupku.






Epilog
Writer’s Point of View
Jindo Port, 18 April 2014
@09:00
                “Putriku! Appa-mu di sini,” teriak Ayah Shin Ae di tepi pelabuhan.
                “Shin Ae! Appa sudah tidak marah kepadamu,” giliran ibu Shin Ae yang berteriak.
                “Eomma, sudah. Shin Ae Unnie telah pergi,” sahut Shin Mi menimpali.
                “Aku merasa gagal menjadi seorang ibu. Aku tidak sanggup melarang Shin Ae pergi ke Jeju. Andai saja aku tak memberikan uang itu untuk biaya wisata, pasti Shin Ae sekarang masih berada di rumah. Ohh, Shin Ae yang begitu baik tak pantas memiliki ibu sepertiku,” ucap ibu Shin Ae dengan bercucuran air mata.
                Shin Mi memeluk ibunya kuat-kuat, ikut menangis sesenggukkan. “Ohh, Eomma, sudahlah. Jangan membuat Shin Ae Unnie di sana semakin sedih,” ujar Shin Mi.
                “Tapi putriku kedinginan. Aku tak ingin ia tidur berselimut dinginnya air.”
                Shin Mi melepas pelukan ibunya. Ia mengeluarkan selembar kertas berwarna putih dan bolpoin dari dalam ranselnya.
“Shin Ae Unnie, aku tahu kau tak akan kembali lagi dan tertawa bersamaku. Aku tahu kau di sana berenang dalam buasnya lautan. Maafkan aku karena selama ini tak bisa menjadi adik yang baik bagimu. Padahal aku masih ingin sekali bisa berbagi suka dan duka denganmu. Aku telah berencana mengajakmu menonton konser Infinite setelah kau pulang dari Jeju. Tapi aku sadar hal itu tak akan mungkin terjadi.
       Shin Ae Unnie, di manapun kau sekarang, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih telah menjadi kakak yang baik untukku. Aku menyayangimu, sampai jumpa.”
                                                                                                                     Park Shin Mi
       Shin Mi melipat kertas itu menjadi bentuk perahu. Ia sempat menciumnya sebelum melabuhkan perahu kertas itu ke laut. Menuju lepas samudra ke tempat kakaknya. Goodbye, Park Shin Ae!

Sunken Sewol Site (Lokasi Tenggelamnya Sewol), 18 April 2014
@09:15
                Seorang penyelam bernama Lee menyelam menyusuri bagian kanan kapal. Tentu kalian ingat, bagian kanan kapal adalah tempat terakhir Park Shin Ae dan Park Su Hyeon berada. Tempat mereka berdua menghabiskan waktu terakhir sisa hidup mereka.
                “Ya Tuhan, aku tak tega melihat ini,” kata Lee dalam hati.
                Lee naik ke permukaan air dan memanggil timnya untuk kembali ke bagian kanan kapal. Setelah 4 penyelam menyusuri bilik kanan kapal, Lee menunjukkan pada mereka apa yang baru saja ia temukan. Ketiga penyelam lain merasa tak tega jika harus mengangkat penemuan itu.
                “Ya Tuhan, kasihan sekali mereka,” kata penyelam bernama Choi dalam hati.
                “Aku tidak tega memisahkan mereka. Satu jaket pelampung terikat kuat di tubuh mereka berdua. Apalagi Sang Pria merangkul bahu gadis di sebelahnya. Mereka seperti tak ingin dipisahkan,” gumam Lee.
                “Apakah kita harus melepas jaket pelampung yang mengikat mereka?” tanya Choi dengan isyarat jari karena tak bisa berbicara di dalam air. Ketiga temannya mengangguk walau dengan berat hati.
                Tubuh kaku dan beku milik Shin Ae dan Su-Hyeon diangkat ke permukaan air. Seluruhnya berwarna biru pucat. Bagaimana tidak, mereka berdua tenggelam di dalam air laut bersuhu 12º celcius selama 2 hari.
                “Sungguh aku tidak tega karena telah melepas jaket pelampung yang mengikat tubuh mereka,” kata Lee setelah sampai di kapal penyelamat  mungkin lebih cocok dibilang kapal pengangkut jenazah. Ia menutup 2 tubuh tak bernyawa itu dengan kain.
                “Aku lebih tidak tega lagi ketika melepaskan tangan kanan Si Pria. Tangan itu mendekap bahu Si Wanita,” sahut Choi.
                “Ya, apalagi Si Wanita menyandarkan kepalanya di dada temannya,” kata penyelam lain.

Danwoon High School, Seoul   24 April 2014
Ruang kelas 3.3
@9:15
                Kim Ha Na  sahabat Park Shin Ae, dan juga 174 korban selamat tragedi Sewol kini telah kembali ke sekolah mereka, Danwoon High School. Hana membawa rangkaian bunga krisan putih tanda belasungkawa. Ia meletakkan bunga itu di bangku sebelahnya, bangku milik Park Shin Ae. Ia memandang di sekelilingnya. Bunga-bunga krisan putih bergeletak di atas bangku milik teman-teman sekelasnya yang lain. Dari 39 murid di kelas 3.3 yang mengikuti perjalanan wisata ke Jeju, kini tinggal 8 orang yang bertahan hidup, termasuk Hana. Hal ini tidak separah kelas 3.8. Seluruh muridnya ditemukan mati karena tragedi mengerikan itu.
                Hana menangis pilu di bangkunya. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ia tak percaya bahwa sahabat terbaiknya, sahabat yang selalu menghiburnya, sahabatnya yang ceria, kini telah pergi. Hana meletakkan selembar surat perpisahan di atas bangku milik Park Shin Ae.

“Aku tak percaya kau pergi. Padahal aku telah memegang janjimu. Aku ingat janji yang kau katakan bahwa kita akan bertemu di geladak kapal. Aku bertanya, “Bagaimana jika kita tidak bertemu di geladak?” Setelah itu kau menjawab, “Aku akan pastikan bahwa kita akan bertemu di pelabuhan.”
Aku tak menemukanmu di geladak. Aku juga telah menunggumu sekian jam di pelabuhan. Tapi kau tak kunjung datang. Sungguh, aku merasa begitu bersalah. Kau yang telah menyelamatkanku. Kau yang telah membuatku pantang menyerah. Kau juga yang menguatkan tekatku untuk hidup. Aku berhutang padamu, Sahabat! Tapi aku tahu, aku tak akan pernah bisa membayar hutang itu.
Shin Ae, sahabatku. Untung saja aku sempat mengatakan padamu bahwa aku menyayangimu. Aku sedikit lega karena kau telah mendengar ucapan itu dari mulutku. Terimakasih banyak, Park Shin Ae, Si Ceria dan pantang menyerah dari kelas 3.3. Selamat tinggal!”
Kim Ha Na

Ruang Kelas 3.1
@9:20
                Seorang yeoja berjalan lemah menuju ke sebuah bangku di kelasnya, kelas 3.1. Ia membawa rangkaian bunga krisan putih dan sebuah botol yang berisi tulisan. Kemudian yeoja itu meletakkan apa yang ia bawa pada salah satu meja deretan nomor 3 dari belakang.
                Saat meletakkan itu, air matanya jatuh tak terbendung. Ia begitu sedih menyampaikan dukanya pada teman yang sudah tiada.
                Kelas 3.1. Ya, kelas itu adalah ruang kelas milik Jung Cha Woong. Seseorang yang dicintai oleh Park Shin Ae. Jika kembali membaca cerita ini, pasti kalian bisa menemukan kalimat yang berbunyi seperti ini :
“Jung Cha Woong, kau tak apa-apa?” tanyaku panik.
                “Gwaenchana, hey, di mana Sung-Won dan Yoo Shi Rin? Kau melihatnya, Shin Ae?”
                “Aku hanya melihatmu saja. Aku tak melihat mereka,” jawabku.

                Benar, ini adalah percakapan terakhir Park Shin Ae dengan Jung Cha Woong saat kapal mulai terbalik. Jung Cha Woong berniat menyelamatkan dua orang sahabatnya, yaitu Sung-Won dan Yoo Shi Rin. Sung-Won adalah seorang namja. Sampai di sini kalian pasti bisa menebak bahwa yeoja yang meletakkan bunga krisan putih tadi adalah Yoo Shi Rin.
                Yoo Shi Rin  yeoja berumur 18 tahun itu berhasil selamat karena Chawoong. Ia ditarik oleh Chawoong saat ia terjebak di kabin dengan air yang menenggelamkan kabinnya. Hidupnya dapat berlanjut. Namun Tuhan berkehendak lain pada hidup Chawoong. Ia adalah orang pertama yang ditemukan meninggal dalam kecelakaan Sewol.
                Sebuah botol tergeletak di samping bunga krisan putih di meja milik Chawoong. Di luar botol itu, tersemat surat yang ditulis oleh Yoo Shi Rin. Surat ini bukanlah surat perpisahan, melainkan surat cinta.

“Dear Chawoong!
I had a crush on you for a year. Aku akan mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu, tetapi mengapa kau tidak kembali? Aku menunggumu…
Aku tidak peduli jika kau akan mengacuhkanku, hanya saja kau harus kembali sekarang… Aku akan bahagia jika bisa melihatmu. Please come back!
Maukah kau memberiku kesempatan untuk melihatmu? Berhentilah mematahkan hatiku dan segeralah kembali… Aku merindukan senyuman terangmu. I miss your bright smile.
Seharusnya aku mengatakan padamu bagaimana perasaanku. Seharusnya aku mengatakan padamu ‘aku mencintaimu’ Aku sangat menyesali itu. Aku merindukanmu, Chawoong…”
                                         Yoo Shi Rin

End

0 komentar:

 

BY SOMEBODY TO YOU Template by Ipietoon Cute Blog Design