Park
Shin Ae Point of View
Seoul,
13 April 2014
@18:43
“Eomma, tolong bujuk Appa
supaya memperbolehkan aku pergi ke Jeju,” rengekku memohon kepada Eomma yang tengah sibuk mencuci selada.
“Cobalah sendiri,” jawab Eomma datar.
Aku berbalik menuju ruang
tengah. Di sana Appa duduk dengan
Shin Mi, adikku. Aku bergabung dengan mereka dan ikut duduk di samping Appa. “Oh, ayolah, Appa! Semua teman sekelasku mengikuti perjalanan itu. Aku tak ingin
berdiam di rumah membayangkan senyum bahagia teman-temanku di Jeju besok,”
bujukku pada Appa.
Karena tak mendapat tanggapan,
aku naik ke kamarku. Sungguh menyebalkan, bukan? Ketika sekolah mengadakan
kunjungan ke pulau tradisional Jeju, dan hampir seluruh siswa tahun ketiga
mengikutinya, aku justru tak mendapat izin dari Appa-ku untuk bergabung. Apa yang dipikirkan oleh Appa? Tidakkah ia ingin melihat anaknya
gembira? Huh, aku benci konflik!
Aku melihat sebuah koper dan backpack yang telah kupersiapkan
sebelumnya. Jika aku sudah mendapat izin dari Appa nanti, segera aku mem-pack
pakaian dan baju-baju yang akan kubawa ke Jeju. Tuhan, jika Appa tetap tidak memberiku izin, maka
berilah aku izin untuk tidak patuh padanya. Bagaimanapun aku tetap harus ikut
dalam perjalanan itu.
Kurebahkan tubuhku pada ranjang
empuk. Penat rasanya bergulat dengan pelajaran di sekolah hari ini. Maka dari
itu aku bersikeras untuk pergi ke Jeju. Siswa tahun ketiga seharusnya menikmati
liburan sebelum berjuang di ujian akhir bulan depan. Lagipula selama ini kami
selalu mendapat suapan-suapan ilmu studi. Apa salahnya jika kami berkunjung ke
Jeju lusa?
Tok…
tok… tok…
Terdengar
suara pintu kamarku diketuk. Aku membukanya. “Eomma? Ada apa?” tanyaku ketika melihat Eomma di ambang pintu kamarku. Eomma
masuk pelan-pelan. Oh, aku masih tak mengerti.
“Ada
apa?” tanyaku lagi. Eomma memberiku
sebuah amplop yang aku tidak tahu apa isinya. “Ini apa, Eomma? Surat dari siapa?” Aku memburu Eomma dengan berbagai pertanyaan.
“Bukan
surat. Itu uang. Bukankah kau ingin ikut ke Jeju lusa? Bukankah besok adalah
hari pembayaran terakhir? Bayarkan saja. Jangan katakan pada Appa, ia pasti akan tetap melarangmu
pergi,” jelas Eomma.
Aigoo, aku benar-benar terharu dengan apa yang Eomma lakukan. Aku memeluknya erat. Erat sekali. “Gamsahamnida,” bisikku lirih di
telinganya.
Prepare!
Seoul, 14 April 2014
@10:00
Bel
istirahat baru saja terdengar, dengan segera aku berlari ke ruangan Guru Kim.
Ia adalah ketua program perjalanan wisata kami besok. Dengan hati-hati aku
menggenggam amplop yang berisi uang pemberian Eomma. Aku tak ingin amplop itu rusak, terlipat, sobek, apalagi
hilang. Benda itu seolah tiket bagiku untuk mengikuti wisata ke Jeju besok
sore.
“Gamsahamnida,” ucapku seraya keluar dari
ruangan Guru Kim setelah membayarkan biaya perjalanan.
Jam
tangan yang kupakai menujukkan pukul 10.12, itu artinya waktu istirahat masih 8
menit lagi. Lebih baik aku pergi ke kelas saja. Hatiku sudah lega karena aku
benar-benar akan ikut ke Jeju besok, tak peduli Appa memberiku izin atau tidak.
“Park
Shin Ae,” ucap suara lirih di belakang telingaku.
“Park
Su Hyeon?” dalihku kaget sembari berbalik.
“Maaf
membuatmu kaget,” ujarnya kemudian.
“Tidak
apa-apa. Mengapa tadi kau memanggilku?” tanyaku sambil melangkahkan kaki menuju
kelas. Su-Hyeon mengikuti langkahku.
“Bagaimana?
Kau jadi ikut?” tanyanya.
“Tentu
saja,” jawabku datar.
“Syukurlah.”
“Mengapa?”
“Aku
senang kau bisa mengikuti wisata itu.”
“Bagaimana
jika aku tidak jadi ikut?” tanyaku.
“Uhmm,
aku…”
Aku
bosan berada di dekat namja ini.
Entahlah, aku rasa ia selalu canggung jika berbicara denganku. Baiklah, aku
pikir aku harus mempercepat langkah kakiku menuju kelas. Ya, aku tahu walaupun
itu sama saja. Kami adalah teman sekelas. Tak ada gunanya berjalan lebih dulu
kalau akhirnya kami akan bertemu di tempat yang sama.
“Shin
Ae,” panggil Su-Hyeon lagi. Namja
tadi menarik tanganku dan membuatku berbalik menatap kedua bola matanya. Ahh,
mengapa harus dengan Su-Hyeon? Mengapa bukan Jung Cha Woong yang ada di depanku
sekarang? “Ada apa?” tanyaku canggung. Su-Hyeon terdiam gugup, sepertinya ia
akan mengatakan sesuatu. Dan kali ini aku ingin memberinya kesempatan untuk
bicara.
“Shin
Ae-yya, aku… menyukaimu. Ini sudah
sejak dulu kupendam,” ungkapnya. Aku terkejut tak terkira. Bodoh sekali ia!
Mengungkapkan perasaan di situasi dan tempat yang tidak tepat. Ohh, kami masih
ada di koridor sekolah.
“Apa?”
seruku tak percaya. “Lebih baik jangan katakan hal itu lagi. Bukankah kau tahu
bahwa aku menyukai Jung Cha Woong?”
Aku
berjalan mendahului Su-Hyeon. Ohh, maafkan aku. Tapi ini tak dapat dipercaya
dan membuatku jijik. Ya Tuhan, kupikir aku begitu tega. Namun sudahlah, aku tak
ingin hal ini mengubah mood-ku yang
tadinya sudah membaik.
@17:00
Yeah, akhirnya jam pulang telah
tiba. Aku tidak sabar untuk mengganti hari ini menjadi besok. Siswa tahun
ketiga yang akan berwisata ke Jeju diliburkan dan akan berkumpul di sekolah
tepat pada pukul 5 sore, lengkap membawa barang-barang yang akan dibawa.
Appa belum menjemputku. Seperti biasa, aku berdiri di depan gerbang
sekolah bersama Kim Ha Na, sahabat sekaligus teman sebangkuku yang paling baik.
“Shin Ae, lihatlah, di sana ada Chawoong!” bisik Ha Na sambil menunjuk Chawoong
yang berjalan pulang bersama teman-temannya. “Hey, jangan menunjuk! Aku malu,”
sahutku.
Aku terus melirik Chawoong
hingga hilang dari pandangan. Ya Tuhan, namja
itu begitu memikat hati. Tampan, pandai, ramah, and… He has a bright smile!
Aku suka sekali ketika ia tersenyum, menyapa orang-orang di sekitarnya. Sejak
pertama setelah menjadi siswa tahun ketiga, aku telah menyukainya. Sayangnya
kami tidak satu kelas. Aku berada di kelas 3.3, dan ia di kelas 3.1 kelas murid-murid unggulan yang memiliki
segudang prestasi.
Membicarakan tentang Chawoong,
aku jadi teringat bahwa ia berulang tahun pada tanggal 17 April. Ya Tuhan! Ya,
17 April! Dan pada hari itu kami sedang berada di Pulau Jeju. Benar sekali, aku
akan mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya besok lusa. Uhm, Chawoong? 17
April? Ulang tahun? Hey!!
“Hana, maukah kau menemaniku?”
kataku tiba-tiba.
“Menemani ke mana?” tanya Kim Ha
Na.
“Membeli kado untuk Chawoong.”
“Ia berulang tahun?” tanya Hana
lagi.
“Tujuh belas April besok, ayolah
kumohon!” paksaku. Aku mengeluarkan ponsel untuk memberitahu Appa bahwa aku akan pulang bersama Hana,
dan Appa tak perlu menjemputku.
“Baiklah, tapi jangan terlalu
malam,” ucap Hana mengalah.
“Ahh, terimakasih, Chingu!”
@22:00
Berkali-kali kupandangi kotak
kecil yang terbungkus kertas kado berwarna biru laut di atas meja belajarku. Di
dalamnya terdapat sebuah bolpoin mewah. Bolpoin itu bukan sembarang bolpoin,
aku membelinya dengan penuh cinta kurasa
itu berlebihan. Maksudku, aku membelinya secara spesial, khusus untuk namja yang selama ini mengisi hatiku.
Aku juga merelakan uang saku ke Jeju-ku sebesar 530 Won untuk membeli bolpoin
itu. Itupun aku masih harus meminjam uang Hana sebesar 45 Won. Harga yang cukup
mahal untuk sebuah bolpoin, bukan?
Mengapa aku akan memberi Chawoong
sebuah bolpoin mewah? Karena aku tahu ia suka sekali menggambar dengan tinta.
Ya, selain pandai dalam bidang akademik, ia juga dikenal pandai menggambar
dengan bahan tinta. Tuhan begitu murah hati kepadanya.
“Pukul berapa ini?” gumamku.
“Sudah pukul sepuluh lebih ya? Hoamm.”
Kurasa aku baru saja pulang dari
mall, membungkus kadonya, packing
barang-barang dan pakaian, dan sekarang sudah sangat malam? Aku mengangkat
koper dan backpack ke samping lemari.
Aku sungguh tidak sabar untuk besok. Meninggalkan kota Seoul, menuju Incheon,
menyeberang laut menuju Pulau Jeju.
Sebelum mematikan lampu dan
bergegas tidur, kebiasaan yang selalu kulakukan adalah mengucap kata selamat malam
kepada 6 poster personil boyband Infinite yang terpajang di dinding kamarku. Haha,
aku adalah Inspirit atau penggemar fanatik boyband Infinite. Selain Chawoong, keenam
personilnya pun merupakan idola hatiku. Mereka begitu tampan dan pintar
menyanyi. Ahh, sudah, ini sudah malam. Sebaiknya aku tidur, dan ketika aku
bangun nanti, aku mendapati hari telah berganti, dan angka di kalender
menunjukkan angka 15. Itu artinya hari keberangkatan tiba. Good Night!
Departure
Day
Seoul, 15 April 2014
@16.48
Aku mengusap lagi wajahku yang
merah dan basah oleh air mata. “Sudah, jangan menangis! Cepatlah keluar dari
mobil, sayang, teman-temanmu pasti telah menunggu,” ujar Eomma lembut. “Sampai jumpa, Eomma.
Katakan pada Appa juga,” jawabku
sembari keluar dari mobil.
Aku berdiri di depan gerbang
sekolah untuk memastikan Eomma telah
pulang ke rumah. Aku merasakan wajahku lembab oleh bekas tetesan kristal cair
yang keluar dari mataku. Ahh, aku malu kalau teman-teman melihatnya. Melihat
mataku sembab.
Maafkan aku, Appa. Aku telah membangkang Appa. Tuhan, ampuni aku. Aku sungguh
tidak bermaksud menjadi anak durhaka.
Memori
otakku kembali mengingat puluhan menit yang lalu. Saat aku mengangkat koper dan
backpack keluar dari kamar.
“Mau ke mana?” tegur Appa dengan nada tinggi.
“Aku akan mengikuti perjalanan
ke Jeju, Appa,” jawabku.
“Apakah kau tidak mendengarkan
apa yang Appa katakan?” Nada bicara Appa semakin meninggi.
“Tapi Appa…”
“Bulan depan kau sudah harus
mengikuti ujian akhir, mengapa kau justru bepergian? Jika kau berangkat dari
Seoul pukul lima sore ini, kemungkinan kau akan menyeberang dari pelabuhan
Incheon pada pukul sepuluh malam. Bagaimana jika terjadi sesuatu di laut? Cuaca
buruk sering terjadi di perbatasan Jindo dan Jeju saat malam hari,” sahut Appa marah.
“Appa tak perlu khawatir. Tidak akan terjadi badai. Lagipula aku
pergi bersama siswa-siswi tahun ketiga beserta para guru,” jawabku.
“Terserah kau! Tinggallah di
Jeju dan tak usah pulang! Appa dan Eomma juga tak perlu repot membayar
biaya sekolahmu,” bentak Appa seraya
meninggalkanku.
Untung saja saat itu Eomma segera datang dan menyuruhku untuk
masuk ke mobil. Aku menurut. Dalam perjalanan dari rumah menuju ke sekolah, tak
hentinya aku menumpahkan air mata. Merasa bersalah karena tidak mamatuhi Appa.
“Park Shin Ae, mengapa masih di
sini? Segeralah masuk ke aula untuk mendapat pembinaan,” ujar Guru Lee
membuatku tersadar dari lamunan.
“Ahh, iya, baiklah.
Terimakasih,” ujarku sembari menyeret koper menuju aula sekolah.
Incheon,
15 April 2014
@21.25
Appa benar, kami sampai di pelabuhan Incheon sekitar pukul setengah
sembilan malam. Hanya saja Appa
kurang 30 menit lagi mengatakannya. Yeah, sekarang kami sedang naik ke atas
kapal feri yang akan membawa kami ke pulau tujuan, Jeju. Kapalnya begitu besar,
dan aku sempat membaca nama kapalnya, Sewol. Tidak hanya membaca namanya saja,
aku, Hana, Hyerin, Jee-Hyun, dan Moon Ra juga telah berfoto di bawah kapal
besar ini. Kami jadi merasa begitu kecil bila disandingkan dengan kapal feri
sebesar Sewol.
Sepuluh menit berlalu, Sewol
mulai berlabuh. Bergerak menuju lautan lepas, mengapung, dan melawan ombak
menuju Pulau Jeju. Di pelabuhan tadi, angin terasa begitu dingin. Go Weather di
ponselku menunjukkan angka 10º celcius di kawasan Incheon. Namun sekarang
suasana begitu hangat di kapal. Bersama 4 teman sekelasku Hana, Hyerin, Jee-Hyun, dan Moon Ra,
yang juga merupakan teman satu kabin, kami menata barang-barang bawaan kami.
Kami akan tidur di kabin nomor 35 dari 110 kabin yang ada di Sewol. Kabin itu
ada di lantai 3. Kabin kapal memang begitu sempit, namun tak masalah mengingat
bahwa kami tinggal di sini hanya untuk satu malam. Setelah itu kami akan
menginap di salah satu hotel di Pulau Jeju.
“Hey, hey, hey, lihat ke arah
kamera!” teriak Jee-Hyun sambil mengarahkan kamera ponselnya kepadaku dan Hana.
Seperti yang biasa pelajar Korea lakukan dihadapan kamera, kami berdua tersenyum
sambil menempelkan gaya jari peace di
pipi.
“Perlihatkan padaku bagaimana hasilnya!”
kata Hana.
“Ohh, mataku terlihat bagus di
foto itu. Unggah foto itu di KakaoTalk, Jee!” pintaku pada Jee-Hyun.
“Shin Ae, tapi pipimu terlihat
besar, hahaha,” canda Jee-Hyun.
“Dasar!”
Begitu menyenangkan menghabiskan
malam di kabin bersama teman-teman. Berkali-kali kami berfoto, bercanda,
bercerita. Aku tidak bisa membayangkan jika saja aku tidak ikut dalam
perjalanan ini. Tentunya aku akan sangat menderita di dalam kamar tidurku.
“Selamat datang di Sewol bagi
siswa-siswi beserta para guru Danwoon High School, Seoul. Semoga Anda merasa
nyaman dengan perjalanan ini. Jika memerlukan sesuatu, datanglah ke bagian
pelayanan di lantai 4. Selamat malam dan selamat beristirahat.”
Suara loudspeaker kapal menggelegar di seluruh penjuru. Kurasa ini berisik.
Lagipula ini sudah pukul 11 malam, tidak sopan mengatakan sesuatu lewat loudspeaker hanya untuk mengucap selamat
datang, selamat malam, dan selamat beristirahat.
“Merasa nyaman dengan perjalanan?
Mereka menyediakan kabin saja begitu sempit. Bahkan kamarku lebih luas dari
kabin ini,” protes Hyerin.
“Ssst, jangan mengeluh! Lebih
baik ayo kita tidur,” ajak Moon Ra.
Aku membuka tirai jendela kabin.
Ingin kurasakan bagaimana rasanya bergerak di atas laut saat malam hari. Oh,
astaga, Chawoong di luar! Ia berdiri sendiri di dek kapal. Apa yang ia lakukan?
Ingin rasanya aku mendekat. Tapi apa yang akan kukatakan nantinya? Apakah hanya
sekedar say hi? Ohh, itu terlalu membosankan.
Sesaat aku mengalihkan pandangan
pada kotak kecil berwarna biru laut yang kubawa dari rumah. Akankan aku
memberikannya sekarang pada Chawoong? Ahh, hari ini bukan ulang tahunnya, Shin
Ae! Tapi bagaimana jika aku tidak memiliki waktu untuk memberikan kado itu? 17
April adalah hari di mana kami sedang menikmati liburan di Jeju. Pasti
masing-masing dari kami akan sibuk. Ia pasti juga akan asyik dengan teman-teman
sekelasnya. Apakah ini saat yang tepat?
@23.15
“Jung Cha Woong,” ujarku lirih
sambil menepuk bahunya. Sontak ia kaget dan berbalik.
“Apa? Ada apa?” tanyanya masih
setengah kaget.
Aku akhirnya memutuskan untuk
mendekatinya. Memutuskan untuk memberikan kado ulang tahunnya pada malam ini.
Karena kupikir ini adalah waktu yang sangat cocok. Ia sendirian, berdiri tenang
menatap laut.
“Maaf, aku mengagetkanmu. Aku
melihat dari jendela dan mendapatimu berdiri sendirian di dek,” jelasku.
“Ohh,” ucapnya singkat dengan
senyuman terang terhias di bibirnya. Baru kali ini aku mendapat senyuman manis
darinya dengan jarak yang begitu dekat.
“Jung Cha Woong, selamat ulang
tahun, aku memberikan ini untukmu,” ujarku akhirnya.
“Tunggu, tunggu. Aku tak
mengerti. Hari ini bukan hari ulang tahunku.”
“Arasseyo. Tapi selama empat hari kedepan belum tentu kita saling
bertemu apalagi berbicara. Kau pasti akan sibuk dengan teman laki-lakimu, dan juga
tak mungkin bagiku untuk mendekatimu. Maka kupikir inilah waktu yang sempurna
untuk memberikan ini,” jelasku.
Dengan tangan gemetar Chawoong
menerima kado dariku. Sinar mata teduhnya menyiratkan unbelievement ketidakpercayaan.
“Ya Tuhan… Terimakasih, Park. Kaulah yang pertama kali melakukan hal tak
terduga seperti ini di hari ulang tahunku. Sekali lagi terimakasih,” ujar
Chawoong.
“Ya, tapi jangan panggil aku
Park. Itu nama ayahku. Panggil aku Shin Ae,” candaku. Chawoong tertawa, senang
sekali rasanya mendengar dan melihat tawa renyah milik Chawoong. Aku tersenyum,
Chawoong juga. Perlahan ia memegang tanganku. Dan…
“Apa yang sedang kalian
lakukan?”
Sontak Chawoong melepaskan
genggaman tangannya dengan cepat. Aku bergeser menjauh. “Sung-Won?” kata
Chawoong. Ahh, itu Choi Sung Won, teman sekelas Chawoong.
Karena
tak mau terlibat dalam pembicaraan yang tak diharapkan, aku memilih pergi dari
dek lantai 3 dan menuju kabin. Ya Tuhan, aku malu sekali pada Chawoong.
“Park
Shin Ae, kau dari mana?” tanya Guru An ketika melihatku berlari dari dek.
“Dari
luar,” jawabku.
“Cepat
tidur, ini sudah malam!”
“Baik,
Guru An. Permisi,” pamitku seraya kembali berlari menuju kabin.
Kudapati
ruangan gelap dengan penghuninya yang sudah terlelap di dalam kabin nomor 35.
Hey, kecuali Hana. Ia masih mengoperasikan ponselnya. Tanpa pikir panjang aku
ikut berbaring di ranjang sebelah kanannya.
“Dari
mana saja kau?” tanya Hana.
“Dari
dek,” jawabku. “Mengapa belum tidur?”
“Huh,
aku menunggumu!” ujarnya sedikit kesal.
“Baiklah,
baiklah, sekarang aku sudah kembali. Tidurlah!”
Hana
mematikan ponselnya dan menarik selimut. Kupikir ia juga menutup matanya kemudian.
Ruangan sudah gelap, sepertinya sudah tak tercium adanya kehidupan di kabin
nomor 35. Hanya terdengar suara ombak laut yang terpecah dan hembusan angin bak
topan haiyan. Aku menaikkan kaos kakiku dan menyusul untuk terpejam. Membiarkan
malam ini berangsur-angsur pergi, berganti dengan hari esok dalam damainya pagi.
Is the Sewol going to Sinking?
Jindo,
16 April 2014
@7:30
“Shin Ae, bangunlah! Ini sudah
pagi.”
Kubuka mataku sedikit, sangat
sedikit. Kulihat bayangan Hana di depanku, menggoyang-goyangkan tubuhku.
Sepertinya ia sudah lama terbangun.
“Jam berapa ini?” tanyaku malas
tanpa membuka mata.
“Setengah delapan,” jawab Hana.
“Kita sudah sampai di mana?”
“Jindo.”
“Masih jauhkah perjalanan kita?”
tanyaku lagi.
“Cukup jauh.”
“Kalau begitu biarkan aku
menyelesaikan tidurku hingga pukul sembilan,” kataku.
“Baiklah, tapi pastikan kau tak
akan terlambat untuk sarapan. Aku ingin berjalan-jalan di dek-dek dan geladak
kapal,” jawab Hana.
Tanpa mendengarkan perkataan
terakhir Hana, aku hanya menarik selimut. Kupikir Hana telah meninggalkan
kabin. Aku membuka mata lebih lebar lagi untuk mengetahui ada siapa sajakah
yang masih tinggal di kabin. Dan ternyata aku tak menemukan seorang pun.
Kuputuskan untuk melanjutkan tidur pagiku yang sempat tertunda.
Ponselku berdering tanda sebuah
pesan masuk. Huh, siapa yang telah mengirim pesan ini? Hampir saja aku terlelap
menikmati tidurku, mengapa gangguan kecil mengusikku? Kubuka pesan itu dan
menemukan nama Shin Mi, adikku, terpampang di layar. Apakah ia belum berangkat
ke sekolah? Ah, sudahlah, aku ingin membaca pesannya.
Unnie,
kau sedang melakukan
perjalanan
sekolah hari ini?
Pulanglah
dengan selamat
dan
jangan lupa souvenir
untukku.
Dengan malas jariku
mengetikkan balasan untuk Shin Mi.
Baiklah,
aku akan pulang
dengan
selamat.
@8:30
DUUMMPP!!!
Dengan tiba-tiba aku terbangun
karena suara benturan yang sangat keras. Keras sekali, bahkan siapa saja yang
ada di dalam kapal dapat mendengar itu dan membuat telinga mereka sakit. “Suara
apa itu?” tanyaku pada… Entahlah, tidak pada siapapun, tidak ada orang di kabin.
Suara itu begitu keras, layaknya sebuah meteor menghantam bangunan pencakar
langit.
Aku menurunkan selimut dan
keluar dari kabin untuk mencari tahu suara apa yang terdengar tadi. Orang-orang
dari kabin lain juga keluar dan terlihat kebingunan. Diantara mereka saling
bertanya ‘apa yang terjadi?’, ‘suara apakah tadi itu?’ Dengan langkah cepat aku
naik ke hallroom utama di lantai 4.
Banyak orang mengikuti apa yang kulakukan, mereka semua teman-temanku.
“Park Shin Ae, apa yang
terjadi?” tanya Lee Sae Min, yeoja
kelas 3.2.
“Entahlah, aku tak tahu. Mari
mencari tahu di lantai empat!” ajakku.
Kulewati tangga menuju lantai 4.
Para penumpang telah berkumpul di sana. Sama seperti di koridor kabin tadi,
mereka saling bertanya ‘ada apa? Ada apa?’. Kulihat Guru Kim yang berdiri
diantara siswa-siswi Danwoon High School. Aku memutuskan untuk bertanya
kepadanya, “Guru Kim, apa yang baru saja terjadi?” tanyaku setengah panik.
“Kami belum tahu. Kurasa bukanlah sesuatu yang berbahaya. Tetap tenang dan
tunggu perintah dari kapten,” jelas Guru Kim. Aku sedikit lega mendengar
penjelasan Guru Kim.
Oh
Tuhan, aku menyadari bahwa aku keluar dari kabin dengan wajah kusutku. Sesegera
mungkin aku turun menuju toilet di lantai 1
lantai dasar kapal, untuk mencuci wajah dan membersihkan diri.
“Shin
Ae, kau sudah bangun? Baru saja aku berniat untuk membangunkanmu,” seru Hana
saat kami berpapasan di tangga lantai dasar. Ia hendak naik, sedangkan aku
turun.
“Ya,
aku terbangun karena suara keras tadi,” jawabku.
“Menurutmu,
apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Hana.
“Aku
tidak tahu. Tapi Guru Kim bilang ini bukanlah masalah yang serius. So, don’t be panic,” ujarku tenang setelah
menemukan sirat kepanikan di wajah Hana.
“Arasseyo. Kalau begitu, kau mau ke
mana?” tanya Hana setelah sedikit lega.
“Aku
akan mencuci wajahku.”
“Aku
akan menunggumu di dining hall untuk
sarapan, cepat ke sana!”
Aku
menuruni anak tangga selanjutnya. Banyak penumpang di lantai dasar mulai naik
ke lantai di atasnya. Sedangkan di sini hanya akulah yang menuju ke bawah.
@8:40
Aku
merasakan sesuatu yang tak beres pada langkah kakiku. Mungkin sandalku yang
bermasalah ataukah lantai yang menjadi miring. Jika aku diam di tempat beberapa
detik, aku merasa kakiku bergeser ke arah kiri ini seperti berdiri di atas papan
miring.
Kini
aku kembali naik ke lantai 4. Banyak penumpang yang memilih kembali ke kabin
mereka masing-masing. Aku memilih di sini. Menunggu perintah dari Sang Kapten.
Karena jujur saja, aku masih khawatir atas suara benturan keras 5 menit lalu.
Apalagi kini kejanggalan mulai terjadi. Seperti yang kukatakan tadi, kakiku
seperti bergerak ke kiri dengan sendirinya.
“Park
Shin Ae,” panggil seorang namja dari
arah belakang. Aku berbalik.
“Kau?”
Aku sedikit malas bertemu dengan Park Su Hyeon, terlebih setelah kejadian di
sekolah lusa.
“Bisakah
kita mengobrol sebentar?” tanyanya.
“Apa
lagi? Aku tak ingin membahas soal itu,” tolakku.
“Tidak,
aku juga tidak ingin mengingatkanmu tentang kemarin. Aku hanya ingin mengobrol
denganmu. Apa itu boleh?”
Belum
sempat aku menjawab, tiba-tiba goncangan hebat ke arah kiri kapal mulai terasa.
Perasaanku mulai tak enak.
BRUUKK!!
PYARR!!
Ohh,
figura-figura beserta furniture yang ada di lantai 4 jatuh dan pecah. Semuanya
melorot ke arah kiri. Aku mulai merasa kakiku semakin ikut bergeser turun ke
arah kiri juga. Dengan sigap Su-Hyeon menarik tanganku agar aku tidak terjatuh.
“Bagi
semua penumpang, tidak perlu panik dan jangan pergi dari tempat Anda sekarang.
Tetap di sana dan jangan bergerak.”
Suara
loudspeaker terdengar diperuntukkan
bagi para penumpang untuk tidak bergerak. Kurasa ini tak masuk akal. Aku yakin
posisi kapal sudah mulai miring. Dengan begitu, berdiam diri adalah perintah yang
tidak tepat. Tentu kami semua di sini akan semakin melorot ke kiri.
“Su-Hyeon,
apakah suara tadi merupakan suara kapal yang menabrak karang?” tanyaku pada
Su-Hyeon yang masih berpegangan tangan denganku.
“Kupikir
juga begitu, Sewol benar-benar berada di posisi miring,” jawabnya.
Tidak
banyak orang di lantai 4. Hanya ada belasan siswa. Yang lain sudah kembali ke
kabin dan mereka akan berdiam di sana hingga perintah kapten selanjutnya.
@8:52
Siapapun
yang ada di kapal Sewol sekarang dapat merasakan lantai semakin miring dengan
waktu yang begitu cepat. Jangankan figura dan furniture, kini meja dan kursi di
lantai 4 sudah mulai meluncur ke arah kiri. Hampir semua barang-barang
berserakan tak menentu di sisi kiri ruangan. Ya Tuhan, benarkah Sewol akan
tenggelam?
Seorang
awak kapal wanita muncul dari ambang tangga lantai 3, ia membawa belasan jaket
pelampung. Lebih dari separuh tubuhnya sudah basah kuyub. Aku berlari ke arah
awak kapal itu.
“Unnie, apa yang terjadi? Mengapa kau
basah kuyub?” tanyaku pada awak kapal wanita itu, kulirik nama dada yang
terpasang di baju tugasnya. Park Ji Young.
“Kapal dalam keadaaan miring dua
puluh derajat. Bagian kiri lantai dasar sudah terendam air setinggi dadaku.
Cepat pakai jaket pelampung ini!” seru Park Ji Young Unnie sambil membagikan jaket pelampung pada penumpang yang ada di
lantai 4.
“Unnie, apakah penumpang lain juga sudah mendapatkan jaket
pelampung?” tanyaku.
“Sudah. Mereka yang ada di
lantai satu, dua, dan tiga, telah memakai jaket pelampungnya.”
“Mengapa kau tak memakai jaket
pelampungmu, Nunna?” tanya Su-Hyeon
pada Jiyoung Unnie.
“Aku akan mendapatkannya setelah
semua diantara kalian memakainya,” jawab Jiyoung Unnie.
Aku, Su-Hyeon, dan Guru An
membantu Jiyoung Unnie membagikan
jaket pelampung itu. Sayangnya, kami berempat tak mendapatkan jaket pelampung
tersebut. Aku jadi teringat Hana. Apakah ia sudah mengenakan jaket pelampung?
Oh, aku ingat bahwa ia tengah menungguku di dining
hall.
“Jiyoung Unnie, di manakah letak dining
hall?” tanyaku lagi pada awak kapal paling bertanggungjawab itu.
“Ada di lantai tiga.”
“Aku akan ke sana,” ujarku.
“Hey, kau belum mengenakan jaket
pelampung, itu bahaya!” tegur Jiyoung Unnie.
“Kau juga,” sahutku seraya pergi
turun ke lantai 3 menuju dining hall.
Sedangkan itu Su-Hyeon mengejarku, tapi aku menyuruhnya untuk menjauh. Ia
kembali naik ke lantai 4.
Everything
is Tilting
Jindo, 16 April 2014
@9:05
Kapal semakin miring, miring,
dan semakin miring. Aku begitu sulit berjalan karena berkali-kali terpeleset ke
arah kiri. Sungguh buruk keadaannya. Namun aku tetap tak menyerah mencari Hana
di dining hall.
“Oppa, di mana Eomma?” kata seorang gadis kecil kepada
kakak lelakinya.
Aku terkejut melihat gadis kecil
yang berumur sekitar 5 tahun itu berjalan merambat bersama kakaknya yang berumur tak jauh darinya. Sang Kakak
memakaikan jaket pelampung pada adik kecilnya, sedangkan dirinya sendiri tak
memakai. Aku mendekati mereka berdua.
“Adik-adik manis, di mana orang
tua kalian?” tanyaku lembut.
“Tadi Eomma mencarikan adikku jaket pelampung. Ia belum mendapatkannya.
Tetapi sampai sekarang Eomma belum
kembali,” jawab Sang Kakak.
Aku iba sekali melihatnya. Andai
saja aku memakai jaket pelampung, aku akan memberikan itu pada mereka. Sehingga
mereka berdua memakainya. Namun sayang sekali akupun tak mendapatkan.
“Unnie, apa yang terjadi dengan kapal ini?” tanya Sang Kakak padaku.
“Kapal ini hanya miring. Jangan
khawatir, para awak kapal akan membuatnya normal kembali,” jawabku untuk
membuat mereka lega. “Astaga, maaf. Aku harus mencari temanku. Kalian jangan ke
mana-mana. Aku akan kembali ke sini,” tambahku.
Sang Kakak mengangguk. Aku yakin
bahwa 2 anak kecil ini pasti akan menurut. Mustahil bagi mereka untuk menyusuri
lorong kapal sendirian dalam kemiringan yang parah. Aku berlari mencari dining hall, namun aku akan kembali ke
sini untuk menyelamatkan mereka.
“Hana!” teriakku ketika berhasil
menemukan ia tanpa jaket pelampung .
“Astaga!” Aku berseru kaget karena keadaan dining
hall lebih parah dari ruang-ruang yang telah kulewati. Masakan-masakan
tumpah, piring dan gelas hancur berkeping-keping. Sedangkan kulihat Hana duduk
bersandar pada tembok menahan tubuhnya untuk tidak tergelincir jatuh.
“Kau bodoh, mengapa tak pergi
dari sini? Jika kau terpeleset, kau akan terluka karena pecahan piring dan
gelas,” kataku pada Hana.
“Kita tidak diperbolehkan untuk
berpindah tempat. Aku pun takut jatuh,” jawab sahabatku itu.
“Itu adalah perintah bodoh!
Untuk apa kita berdiam diri di tempat, sementara kapal terus bergerak miring?
Aku rela turun dari lantai empat untuk mencarimu!” balasku sembari menarik
tangan Hana dan mengajaknya keluar dari dining
hall.
“Kita akan ke mana?” Hana
bertanya.
“Kita harus menemukan pintu
menuju geladak kapal. Itulah tempat teraman untuk selamat.”
“Sungguh,
aku kesulitan untuk berjalan. Lantainya begitu miring, Shin Ae,” ujar Hana
mengeluh.
“Ini
bukan saatnya untuk banyak bicara, Hana. Tetaplah berusaha untuk berjalan, tak
peduli berapa ratus kali kau terpeleset,” jawabku.
“Apakah Sewol akan tenggelam?”
“Jangan bertanya begitu, yang
terpenting kita harus keluar dari sini.”
Aku berjalan memimpin dan terus
menarik tangan Shin Ae. Perjalanan ini dua kali lebih sulit dibandingkan saat
aku turun dari lantai 4 tadi. Ini semua akibat lantai juga dua kali lebih
miring dari sebelumnya.
Aku kembali ke tempat kakak
beradik tadi berdiam diri. Namun mereka tak ada. Ya Tuhan, di mana mereka?
Sangat berbahaya jika 2 orang anak kecil yang masih terlalu polos, berjalan
berdampingan dalam kapal yang hampir tenggelam ini. Apalagi Sang Kakak tak
memakai jaket pelampung. Apakah ibunya sudah kembali? Kuharap begitu. Semoga
mereka berada di tempat yang aman bersama ibu mereka.
Hana dan aku terus berusaha
keras untuk dapat berjalan di atas lantai yang miring. Segalanya miring. Namun
aku tetap bertekad untuk menemukan pintu menuju geladak.
“Hana,
bukankah tadi pagi kau bilang bahwa kau berjalan-jalan di dek dan geladak
kapal?” Hana mengangguk. Aku baru ingat, pasti Hana mengetahui pintu menuju
geladak.
“Di mana pintu menuju ke sana?”
tanyaku lagi.
“Apakah kau ingat? Kita tadi
bertemu saat aku akan naik ke lantai dua dan kau hendak ke toilet. Saat itu aku
baru saja dari geladak. Itu berarti pintu ke geladak ada di lantai dasar,”
jawabnya.
Lantai dasar? 15 menit yang lalu
Jiyoung Unnie mengatakan bahwa
permukaan air di lantai dasar sudah mencapai dadanya. Lalu sekarang? Dengan
posisi kapal yang semakin miring ke kiri, tentu saja permukaan air yang masuk juga
semakin tinggi. Jika aku dan Hana turun ke lantai dasar, sama saja aku mencari marabahaya.
“Apakah kau tahu pintu lain
selain yang ada di lantai dasar? Air sudah menggenangi lantai itu,” kataku.
“Aku tak tahu lagi, Shin Ae. Aku
takut,” ujar Hana dengan butir-butir air mata yang turun di pipinya.
Dari kejauhan kulihat Jiyoung Unnie berlarian dengan panik. Aku
berlari mendekatinya. Semakin aku berusaha sekuat tenaga untuk berlari, rasanya
lantai menjadi semakin miring. “Jiyoung Unnie!”
panggilku menghentikan langkahnya. “Kau mau ke mana? Bolehkah aku minta dua
buah jaket pelampung?” kataku melanjutkan.
“Aku kehabisan jaket pelampung.
Persediaan ada di lantai dasar, sedangkan air sudah menggenangi lantai dua
bagian kiri. Aku akan menyelam dan mengambil pelampung di gudang persediaan,”
jelasnya.
“Unnie, jangan bertindak gila! Hal itu membahayakan nyawamu!” sahut
Hana.
“Tapi keselamatan penumpang
adalah yang utama bagiku,”
“Tapi Unnie, menyelam dalam kapal yang tenggelam tidak menutup
kemungkinan bahwa kau juga akan tenggelam! Pergilah dan cari cara lain untuk
menyelamatkan kapal tanpa melakukan hal yang tidak wajar. Segera telepon pihak
119!” sergahku.
“Aku telah dilatih untuk
menghadapi hal itu. Awak kapal pergi terakhir. Aku akan keluar setelah
menyelamatkan semua temanmu,” jawab Jiyoung Unnie
dengan pendirian teguhnya.
“Baiklah. Semoga Tuhan
melindungimu,” kataku kemudian. Jiyoung Unnie
tersenyum sedih dan berlari menuju lantai dasar.
@9:15
Aku dan Kim Ha Na berhasil
mencapai lantai empat. Orang-orang yang ada di sana tidak berubah, hanya saja
Su-Hyeon tidak terlihat lagi. Itu bagus. Akan tetapi keadaan sangat buruk dan
semakin memburuk. Kemiringan kapal sudah mencapai 45º. Seluruh barang-barang
berjatuhan. Teman-teman perempuanku menangis, temasuk Hana. Beberapa saat
kemudian loudspeaker kembali
berbunyi.
“Para penumpang, kami
informasikan sekali lagi untuk tidak berpindah dari posisi Anda. Bersiaplah
untuk situasi berbahaya.”
Perintah bodoh! Perintah itu
hanya akan membunuh para penumpang. Apa yang ada di pikiran para awak kapal
itu? Apakah mereka tidak memikirkan keselamatan penumpang? Sampai sekarang
hanya kutemui satu orang awak kapal yang berbudi mulia Park Ji Young Unnie. Ahh, Jiyoung Unnie.
Apakah ia selamat? Tuhan, tolong lindungi pahlawan itu. Ia rela berkorban demi keselamatan
para penumpang. Jika aku tidak akan pernah melihat sosoknya lagi, berikan ia
tempat terindah di taman surgawi.
Di lantai 4, para yeoja menangis. Mereka berpegangan
tangan, erat sekali. Berharap pegangan itu tidak terlepas dan mereka tidak akan
meluncur ke sisi kiri kapal. Aku sangat sedih melihat mereka patah semangat
menanti waktu kematian.
“Ya Tuhan, tolong kami!” teriak
siswi kelas 3.6 dengan putus asa.
“Aku lelah, tolong aku.”
“Kita harus melaksanakan ujian
akhir bulan depan,” sahut yeoja di
sampingnya.
“Benar, aku ingin melanjutkan ke
universitas.”
“Akankah nasib kita akan sama
seperti Titanic?” tanya Angel Lee, teman sekelasku.
“Ohh, aku takut. Aku tidak ingin
tenggelam,” ujar siswi dari kelas 3.1 sambil terisak.
“Apakah Sewol benar-benar akan
tenggelam?”
“Ya, benar. Seriously, it’s shaking and we are going to die,” jawab Eun Soo
sambil memeluk kedua lututnya.
“Aku tidak ingin mati. Aku ingin
bertemu Eomma,” kali ini Hana
menimpali. Ia menangis tersedu.
Aku memutuskan untuk tidak
bicara. Sebenarnya aku tidak ingin melihat teman-temanku di sini putus asa, namun
akupun tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Di lantai 4, hanya akulah
satu-satunya yeoja yang tidak
menangis. Aku yakin aku bisa keluar dari sini.
“Hana, kau ingin keluar dari
sini?” bisikku ke telinga Hana.
“Tentu saja,” jawabnya.
“Meskipun perjuangannya begitu
sulit?”
“Tak apa, aku ingin selamat.”
“Meskipun kita harus berpencar?”
“Shin Ae?” ucap Hana lirih.
“Kau bilang kau ingin selamat,
ayolah! Tak apa, tak ada yang perlu ditakutkan. Ini hanya seperti permainan
mencari jejak. Kita berpencar untuk menemukan pintu menuju geladak. Dan kita
akan bertemu di geladak nanti,” jelasku.
“Bagaimana jika kau menemukan
pintunya lebih dahulu, sedangkan aku belum?”
“Aku berjanji aku akan mencarimu
dan membawamu ke sana,” janjiku.
“Lalu, jika aku sudah menemukan
pintunya dan kau belum?”
“Kau tak perlu mencariku. Aku
bisa menjaga diriku sendiri bagaimanapun caranya. Kita akan bertemu di geladak
dan kita selamat,” ujarku.
“Aku takut kita tak akan bertemu
di geladak,” Hana meneteskan air matanya. Sementara lantai bergerak lebih
miring, dan lebih miring lagi, membuat aku tergelincir dan melorot. Untung saja
Hana menarikku dan segera membantuku berdiri. “Kau lihat, bukan? Impossible for us to walk on the floor.
Aku tidak yakin aku bisa sampai di geladak nantinya. Lalu, kita tak bertemu di
sana,” ucapnya.
“Jika kita tak bertemu di sana,
aku akan pastikan bahwa kita akan bertemu di pelabuhan,” jawabku. Hana
mengangguk, memberikan senyuman kekhawatiran. “Hana, kau menyusuri koridor
depan, aku akan menyusuri koridor belakang, hwaiting!”
ujarku.
“Sebelum terlambat, aku ingin mengatakan
bahwa aku menyayangimu, Shin Ae.” Segera setelah mengucapkan kalimat itu, Hana
berlari ke koridor depan. Berlari di atas kemiringan kapal yang begitu buruk.
Semoga beruntung, sahabatku!
This is
the End of Me
@9:25
Aku berlari menuruni tangga ke
lantai 3. Aku ingin mengambil ponselku yang tertinggal di dalam kabin terlebih
dahulu. Aku ingin menghubungi keluargaku. Aku ingin mengabarkan semuanya.
Yang
membuatku begitu terkejut, semua orang, semua penumpang, semua teman, semua
siswa dan guru yang ada di kapal ini begitu mematuhi perintah kapten. Mereka
memilih untuk berdiam diri dan berputus asa di dalam kabin mereka
masing-masing. Seharusnya mereka sadar bahwa perintah itu telah membodohi
mereka. Astaga, Ya Tuhan, bahkan berpuluh-puluh siswa dari Danwoon High School
memilih untuk duduk-duduk di koridor. Kesemuanya dari mereka memakai jaket
pelampung. Sedangkan aku dan Hana yang bersusah payah menyelamatkan diri,
justru tak mendapatkan jaket pelampung.
“Astaga! Mengapa kalian di
sini?” seruku kaget saat mendapati Hyerin, Jee-Hyun, Moon Ra teman
satu kabinku, justru berbaring santai di atas ranjang kabin dengan memakai
jaket pelampung.
“Astaga, mengapa kau panik? Kita
semua akan mati di sini,” jawab Hyerin.
“Tidak akan!”
“Shin Ae, Sewol sebentar lagi
akan tenggelam. Lantai dua sebelah kiri telah tenggelam total, dan sebentar
lagi giliran lantai tiga. Lantai yang sekarang kita injak,”sahut Moon Ra.
“Hey, semua, ayo kita berfoto.
Ini adalah moment terakhir kita untuk bisa mengabadikan suatu peristiwa. Ayo
kita lakukan selfie untuk
mengabadikan detik-detik tenggelamnya kapal feri Sewol,” kata Jee-Hyun.
“Shin Ae, ayo berfoto bersama
kami. Ini menyenangkan. Posisi kapal dan lantai miring sembilan puluh derajat,
tegak lurus dengan laut. Jika terfoto, kita terlihat seperti melawan gravitasi.
Hebat, bukan?” ajak Moon Ra.
“Mengapa kalian menyerah dengan
mudah? Tuhan yang akan memberikan jalan, bukan kapten itu! Mengapa kalian
memilih untuk berdiam di sini?” sergahku sambil berupaya mengendalikan emosi.
“Tolong para penumpang untuk
tidak berpindah dari tempat Anda. Kenakan jaket pengaman dan pastikan itu sudah
terikat.”
Lagi-lagi pengumuman konyol
terdengar di saat menegangkan seperti ini. Mengapa semua penumpang terlalu
mempercayai Sang Kapten? Bisa saja kapten menginformasikan pengumuman itu
dengan alasan agar ia dan para awak kapal bisa kabur melarikan diri.
“Kau dengar, Shin Ae? Mereka
terus meminta kita untuk berdiam di tempat. Mereka jauh lebih berpengalaman
dibandingkan kau,” tutur Hyerin lagi.
“Sudah, sudah. Aku tengah merekam
kalian. Ayo, katakan sesuatu sebelum kita mati,” sahut Jee-Hyun.
“Appa, Eomma, Oppa, Unnie, I love you,” seru Moon Ra di depan kamera
ponsel milik Jee-Hyun.
“Aku yakin, kita akan menjadi
topik berita terbaru di televisi. Kita juga akan menjadi trending topic world wide di twitter, dengan hastag Pray For South
Korea atau Pray For Sewol, hahaha,” timpal Hyerin.
“Seandainya aku hidup, pasti aku
akan masuk di layar televisi,” sahut Jee-Hyun.
Dengan cepat aku mengeluarkan
barang-barang dari backpack-ku.
Mengambil ponsel dan kartu pelajar. Aku memilih untuk segera keluar dari kabin.
Aku tidak tahan mendengar mereka terus melontarkan kata-kata penuh keputusasaan
seperti itu. Aku berlari meninggalkan mereka semua.
Bertepatan dengan keluarnya
diriku dari koridor kabin, kusadari air laut mulai mencapai ujung tangga lantai
3. Ya Tuhan, aku harus segera naik! Aku melihat seorang namja dengan pelampungnya bersusah payah untuk mencapai lantai 3.
Aku tidak tega untuk meninggalkannya terapung-apung.
“Hey, pegang tanganku!”
Namun namja tadi berhasil keluar dari air tanpa menerima uluran tanganku.
Astaga, Chawoong! “Jung Cha Woong, kau tak apa-apa?” tanyaku panik.
“Gwaenchana, hey, di mana Sung-Won dan Yoo Shi Rin? Kau melihatnya,
Shin Ae?”
“Aku hanya melihatmu saja. Aku
tak melihat mereka,” jawabku.
“Gawat! Mereka masih ada di
lantai dua. Shin Ae, pergilah! Jangan tunggu aku! Khawatirkan nyawamu sendiri!”
ujar Chawoong.
“Apa maksudmu?” tanyaku tak
mengerti.
“Aku akan menyelam untuk
menyelamatkan mereka. Pakailah jaket pelampungku!” Chawoong melepas jaket
pelampung miliknya dan memakaikannya di badanku.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku tidak akan bisa menyelam
jika jaket pelampung masih terpakai di tubuhku. Lagipula kau tidak memakainya,
jadi pakailah saja milikku,” jawab Chawoong.
“Tidak, jangan lakukan itu,
Chawoong. Kumohon! Aku mengkhawatirkanmu,” cegahku.
“Besok adalah hari ulang
tahunku. Apa salahnya jika aku berkorban? Jika hidupku memang harus berakhir,
setidaknya aku telah berusaha menyelamatkan nyawa orang lain,” jelasnya. Ohh,
aku sedih sekali mendengarnya. Baru kali ini aku mampu membuang setetes air
mataku. “Pergilah sekarang, Shin Ae! Kapal akan terbalik dan air semakin naik.”
“Jangan kembali ke bawah,
Chawoong! Aku mohon,” Aku menangis memeluknya. Memeluknya erat sekali. Aku tak
ingin kehilangan orang yang kucintai.
“Aku tidak akan kembali ke
daratan tanpa dua sahabatku. Sampai jumpa, Shin Ae. Jangan tunggu aku. Doakan
saja agar aku tetap bisa menghirup oksigen setelah menit berikutnya,” Chawoong
melepaskan pelukanku.
“Ohh,
tidak, tidak,”
Terlambat.
Chawoong telah melompat dari lantai 3 dan menyelam dalam dinginnya air laut
yang menggenangi bilik kiri lantai 2. Tuhan melindungimu, Chawoong!
@9:30
Kurasakan
goncangan yang lebih besar. Ya Tuhan, kapalnya terbalik. Benar sekali, kapalnya
mulai terbalik. Sedangkan aku belum bisa naik ke lantai 4 dan menemukan pintu
ke geladak. Bagaimana dengan Hana?
Dengan
susah payah aku berjalan pada dinding kapal yang miring horizontal, benar-benar
horizontal. Juga merangkak pada tangga menuju lantai 4 yang sudah miring 180º.
Aku
bisa merasakan kapalnya mulai karam, dengan jelas aku merasakannya. Aku juga bisa
melihat ke arah jendela, terlihat kapal bergerak turun. Jelas sekali. Terdengar
jeritan-jeritan tangis anak-anak perempuan.
“Aku
ingin keluar, tolong aku!”
“Kami
tidak ingin mati!”
“Ayah,
Ibu, aku ingin melihatmu!”
Aku
menutup telingaku mendengar jeritan-jeritan itu. Lalu kulihat ada beberapa
siswa dari Danwoon High School berkumpul bersama Guru Kim. Aku memutuskan untuk
mendekati mereka sebentar.
“Guru
Kim, Guru Kim!” panggilku dengan nafas terengah-engah.
“Shin
Ae?” ujar Guru Kim dan beberapa anak-anak lain ketika melihatku.
“Apakah
sudah ada yang melapor ke pihak 119? Apakah ada yang akan membantu kita?”
tanyaku.
“Sudah.
Dua puluh orang temanmu sudah menelepon ke 119. Dengar, suara helicopter mulai
terdengar samar-samar. Mereka akan menolong kita, jangan takut,” jelas Guru
Kim.
“Shin
Ae, apakah kau membawa ponselmu? Tolong pinjamkan padaku. Pulsaku sudah habis
untuk menelepon 119, dan aku belum menghubungi orang tuaku,” kata Han Seung
Jin, namja yang telah menghubungi
pihak 119.
“Baiklah,
tapi sisakan untukku juga. Aku juga belum menghubungi keluargaku.”
5
menit berlalu, Seung Jin telah mengembalikan ponselku. Aku berpamitan kepada
Guru Kim dan anak-anak lain bahwa aku akan menuju geladak kapal. Mereka
bersikeras melarangku pergi, tapi aku juga bersikeras untuk pergi. Dengan
merangkak, aku melarikan diri dari kerumunan siswa Danwoon itu. Sebelum aku
pergi, aku sempat mengucap, “Semuanya, aku menyayangi kalian. Aku menyayangi
Danwoon High School.”
@9:40
Suara
helicopter menderu-deru tepat diatas kapal yang diambang maut ini. Kurasa para
tim penolong dari 119 sudah datang. Ini saat bagiku untuk keluar dari kapal.
Aku benar-benar ingin menemukan pintu menuju geladak.
Sewol
semakin tenggelam lebih dalam. Lantainya yang biasanya diinjak kini menjadi
berupa dinding vertikal, sedangkan dindingnya kini berubah menjadi lantai yang
kubuat untuk berjalan.
Kulihat
seorang yeoja dengan kesulitan
berlari ke arahku. Aku tahu ia, yeoja
itu adalah Young On You dari kelas 3.2. Ia sendirian, memakai jaket pelampung.
“Park
Shin Ae, ikuti aku! Aku menemukan dek kapal. Ayolah, kau adalah orang pertama
yang kutemui setelah aku berhasil menemukannya. Ikuti aku!” seru Young.
“Benarkah
itu?” tanyaku dengan berseri-seri.
“Ya,
ayo sekarang ikuti aku! Kita bisa selamat.”
“Apakah
dek-nya dekat dengan geladak?” tanyaku lagi.
“Aku
tidak tahu. Kurasa sangat jauh. Aku mohon, sekarang ikutlah denganku. Kau akan
selamat,” ujar Young.
“Maaf.
Aku tak bisa, Young. Kim Ha Na sedang menungguku di geladak. Aku hanya ingin
menemuinya di sana. Pergilah sendiri.”
“Apa?
Kau tak mungkin selamat, Shin Ae. Kapalnya sudah terbalik!” kata Young kesal.
“Tapi
aku akan menjadi sahabat yang munafik ketika mengingkari janjiku pada Hana!
Kalau kau ingin selamat, pergilah saja sendiri. Aku akan tetap pergi ke
geladak,” bantahku.
“Mengapa
kau seperti itu? Coba kau pikir, aku telah berhasil menemukan dek kapal dan
mengajakmu untuk ke sana. Setelah itu aku kembali masuk untuk menyelamatkan
satu diantara teman-temanku. Dan aku menemukanmu, aku mengajakmu keluar dari
sini. Shin Ae, jika saja lima detik lagi kapal ini karam dan aku tenggelam,
bukankah aku telah menyia-nyiakan usahaku untuk menyelamatkan diri?” Shin Ae
menangis karena kecewa. “Aku bisa saja duduk di dek dan menunggu tim penyelamat
datang. Namun aku tidak egois, aku ingin menemukan seseorang dan kita selamat
bersama. Tolong hargai usahaku!”
Aku
memeluk Young. Maafkan aku, Young. Aku memang egois. Sangat egois. Tapi aku
akan lebih egois jika aku mementingkan nyawaku, sedangkan aku tak tahu apakah
Hana sudah ada di geladak atau belum. Young melepaskan pelukanku, “Shin Ae, aku
akan kembali ke dek,” ucapnya.
“Semoga
beruntung, air sudah hampir menenggelamkan lantai ini. Cepatlah berlari
sebelum...” jawabku.
Tanpa
menyelesaikan perkataanku yang terakhir, Young pergi ke arah yang sama saat ia
datang tadi. Sedangkan kurasakan Sewol terus bergerak turun. Aku begitu
berharap agar Young On You selamat. Jika saja harapanku ini pupus, aku anggap
bahwa aku berhutang budi kepadanya.
@9:45
Aku
semakin tak mengerti dengan koridor-koridor yang kulalui. Begitu banyak koridor
hingga membuatku bingung manakah yang akan kulewati. Hingga akhirnya aku
tersadar bahwa aku tersesat. Aku benar-benar tak tahu aku ada di bagian mana.
“Shin
ae, Shin Ae!”
“Su-Hyeon!
Syukurlah kau di sini. Mengapa kau tak memakai jaket pelampung?” kataku sedikit
lega setelah melihat Su-Hyeon.
“Bukankah
tadi kita kehabisan pelampung? Lalu dari mana kau mendapat pelampung itu?”
tanyanya.
“Chawoong.”
“Chawoong?
Di mana ia? Apakah ia hidup?”
“Entahlah.”
Aku sedih membicarakan tentang Chawoong. Kemungkinan ia sudah lebih dahulu...
Ah, aku tak mau mengatakannya. “Kita ada di mana?”
“Kita
ada di bilik kanan kapal. Paling kanan. Jika kita tenggelam, kitalah yang
paling akhir,” jelasnya.
“Mengapa
bisa begitu?”
“Air
masuk ke kapal ini melewati bagian kiri kapal. Dan kita berada di sebelah kanan.
Saat ini air telah menenggelamkan lebih dari separuh badan kapal, terlebih
bagian kiri. Kita seolah berada di puncak. Namun bagaimanapun puncak itu juga
akan tenggelam,” jelas Su-Hyeon lagi.
Aku
menepi ke bagian jendela berukuran raksasa yang berada di sebelah kanan kapal.
Di sana, di luar, tim penyelamat sudah beraksi. Kulihat puluhan siswa berhasil
keluar dari kapal. Ya Tuhan, mereka berhasil keluar. Aku juga harus bisa.
Astaga, Hana ada di sana! Tepat di sana! Ia berhasil naik ke perahu penyelamat.
Astaga, Hana selamat!
“Hana!
Kim Ha Na! Lihat ke arahku! Aku ada di jendela ini!” teriakku histeris sambil
melambai-lambaikan tangan ke arah luar, berharap Hana menyadari keberadaanku.
“Hana! Lihatlah ke arahku! Pak Shin Ae di sini!” teriakku lagi.
“Su-Hyeon,
kita harus pecahkan jendela ini!” kataku pada Su-Hyeon yang berdiri di
belakangku.
“Percuma
saja, kacanya begitu tebal. Aku sudah mencobanya,” jawab Su-Hyeon.
“Jangan
menyerah!” Aku mengambil kursi dan memukulkannya keras ke arah jendela. Benar kata
Su-Hyeon, kaca jendela begitu tebal. Sekali lagi, aku tak akan putus asa!
Kupukulkan kursi itu pada jendela berkali-kali, namun kacanya tidak mudah untuk
dipecahkan.
Aku
kembali menatap ke luar. Air semakin naik dari arah luar dan belakang.
Sepertiga jendela sudah tertutup oleh permukaan air laut. Jika aku memecahkan
jendela itu, makai air akan meluap masuk. Sedangkan dari belakang, air mulai
menenggelamkan bagian kanan kapal. Ohh, apa yang harus kulakukan?
Aku
menatap ke luar lagi. Hana dan puluhan siswa lain telah selamat. Astaga,
kulihat gadis kecil yang kutemui tadi! Syukurlah ia selamat. Sebuah jaket
pelampung yang diberi oleh kakaknya masih terpakai di tubuh mungil itu. Seorang
siswa laki-laki berhasil menggendong dan membawa gadis itu dari Sewol. Tapi di
mana Sang Kakak? Kakak yang begitu menyayangi adiknya itu. Kakak yang telah
memberikan jaket pelampungnya pada Sang Adik. Semoga saja ia selamat. Kuperhatikan
para penumpang yang berhasil keluar. Mereka berada di sebuah kapal feri yang
mengangkut para korban selamat. Seketika timbul sebuah dorongan di hatiku untuk
bisa berkumpul lagi dengan mereka. Dorongan yang menguatkan tekatku untuk hidup.
Ayolah, Tuhan, bantu aku!
Kuangkat
kursi setinggi yang kumampu, kulemparkan keras ke jendela raksasa itu. Berharap
jendela itu segera pecah, tak peduli seberapa banyak air laut yang akan masuk. Kuangkat
lagi kursi itu, “Shin Ae, sudah, sudahlah! Tidak ada harapan lagi! Jika kau
memecahkan jendelanya, air laut tentu akan masuk dan menenggelamkan kita lebih
cepat!” bentak Su-Hyeon sembari merebut kursi itu dariku. Dengan cepat aku
merebutnya kembali. Sekali lagi kuayunkan keras kursi pada jendela. Jangankan
pecah, retak sedikitpun tidak. Jendela ini sangat kuat. Tenagaku habis karena
telah berusaha memecahkannya.
Aku
lemas. Aku tak berdaya. Aku tak sanggup lagi berdiri. Air mata turun dengan
derasnya dari mataku. Tuhan, aku menyerah. Tuhan, aku telah menyerah.
Aku
duduk bersimpuh memeluk lutut. Aku terperangkap. Aku tak mungkin selamat. Benar
kata mereka, kami semua akan tenggelam. Aku akan mati. Nasib kami akan sama
seperti Titanic. Aku tak akan bisa bertemu dengan teman-temanku, dengan Hana,
dengan Chawoong. Aku tak bisa menonton konser Infinite di Seoul. Aku tak bisa
mengikuti ujian akhir bulan depan. Padahal Appa
sangat berharap aku bisa lulus dan masuk ke perguruan tinggi di Cheongju.
Appa? Eomma? Aku menangis mengingat mereka.
Aku ingat sekali pertemuan terakhirku dengan mereka. Aku telah tega
mengecewakan Appa. Ohh, Appa benar, perjalananku berakhir dengan
duka.
Aku
mengeluarkan ponselku dan mengetikkan pesan untuk Appa.
Appa,
maafkan aku karena
telah
mengecewakanmu.
Appa,
tolong maafkan aku.
Aku
menyayangimu.
Setelah Appa, aku menulis pesan untuk Eomma. Ohh, aku tak bisa membayangkan
begitu pedih hati Eomma ketika
mendapatiku sampai di rumah dalam keadaan tak bernyawa.
Eomma,
aku tahu bahwa
Aku
tak akan lagi bisa
Mengatakan
ini. Eomma,
terimakasih,
Eomma maaf,
Eomma,
I love you
Untuk yang terakhir, aku
menulis pesan untuk adikku, Shin Mi. Ya, ia begitu berharap aku bisa pulang
dengan selamat. Dan ketika aku pulang, aku membawakannya souvenir dari Jeju.
Tapi itu semua tak mungkin bisa kulakukan.
Aku
tak mungkin bisa
membelikanmu
souvenir. Maaf.
Aku
semakin histeris membayangkan wajah keluargaku. Su-Hyeon mendekatiku dan
memelukku erat sekali. “Inilah yang ingin kulakukan sejak dulu kepadamu. Aku
ingin memelukmu seperti ini. Jika Sewol tidak tenggelam, aku tak mungkin bisa
melakukannya. Tak apa aku mati, setidaknya hal yang paling ingin kulakukan
telah terwujud. Jangan menangis, kita harus mati dengan tenang,” ucap Su-Hyeon
berbisik di telingaku.
@9:50
Sewol hampir sepenuhnya tenggelam.
Air sudah menggenangi leherku ketika aku duduk. Meskipun begitu, aku tak mau
berdiri. Su-Hyeon berkata bahwa kami harus mati dengan tenang. Kami masih
berpelukan. Kami mencoba tenang. Kami biarkan air lama-kelamaan naik, hingga
mencapai ujung kepala sekalipun. Akan tetapi jaket pelampung membuatku mengapung.
Sedangkan Su-Hyeon yang tak memakai pelampung, mengencangkan pelukannya
kepadaku, membuat aku tetap duduk menyentuh lantai. Aku melepas pelukannya.
Setelah itu aku melepas jaket pelampungku.
“Mengapa kau melepas jaket
pelampungnya?” tanya Su-Hyeon.
“Agar kita bisa memakainya
bersama-sama,” jawabku.
“Tidak, pakailah sendiri! Lebih
baik aku mati terlebih dahulu tanpa jaket pelampung.”
“Tolonglah, Su-Hyeon. Pakai ini
di salah satu lenganmu, dan aku juga akan memakainya di satu lenganku,” desakku
padanya.
“Pakailah
pelampung itu untuk keselamatanmu sendiri.”
“Aku
tidak akan selamat. Semua penumpang juga memakai pelampung, tapi aku yakin,
sekarang mereka sudah tak bernyawa.”
“Mengapa
kau melakukan itu untukku?”
“Agar kau bisa memelukku lagi.
Ayolah, air laut begitu dingin menggenangi tubuhku,” desakku lagi. Ia menurut
dan memakai pelampung itu di lengan
kirinya. Air sudah mencapai mulutku. Aku merasakan begitu asin air itu.
“Shin Ae, bibirmu membiru,”
bisik Su-Hyeon pelan.
“Aku kedinginan. Aku takut,”
ucapku dengan suara bergetar. Berusaha menaikkan dagu agar dapat tetap
berbicara.
“Tidak usah takut.” Su-Hyeon
merangkulku. Kusandarkan kepalaku di dadanya.
“Terimakasih Su-Hyeon. Aku akan
tidur sekarang, biarkan aku terlelap di dadamu, aku kelelahan, aku sudah
kedinginan. Sampai jumpa,” kataku untuk yang terakhir kali. Dan inilah detik-detik
akhir dari hidupku.
Epilog
Writer’s
Point of View
Jindo
Port, 18 April 2014
@09:00
“Putriku! Appa-mu di sini,” teriak Ayah Shin Ae di tepi pelabuhan.
“Shin Ae! Appa sudah tidak marah kepadamu,” giliran ibu Shin Ae yang
berteriak.
“Eomma, sudah. Shin Ae Unnie
telah pergi,” sahut Shin Mi menimpali.
“Aku merasa gagal menjadi
seorang ibu. Aku tidak sanggup melarang Shin Ae pergi ke Jeju. Andai saja aku
tak memberikan uang itu untuk biaya wisata, pasti Shin Ae sekarang masih berada
di rumah. Ohh, Shin Ae yang begitu baik tak pantas memiliki ibu sepertiku,”
ucap ibu Shin Ae dengan bercucuran air mata.
Shin Mi memeluk ibunya
kuat-kuat, ikut menangis sesenggukkan. “Ohh, Eomma, sudahlah. Jangan membuat Shin Ae Unnie di sana semakin sedih,” ujar Shin Mi.
“Tapi putriku kedinginan. Aku
tak ingin ia tidur berselimut dinginnya air.”
Shin Mi melepas pelukan ibunya.
Ia mengeluarkan selembar kertas berwarna putih dan bolpoin dari dalam
ranselnya.
“Shin
Ae Unnie, aku tahu kau tak akan
kembali lagi dan tertawa bersamaku. Aku tahu kau di sana berenang dalam buasnya
lautan. Maafkan aku karena selama ini tak bisa menjadi adik yang baik bagimu.
Padahal aku masih ingin sekali bisa berbagi suka dan duka denganmu. Aku telah
berencana mengajakmu menonton konser Infinite setelah kau pulang dari Jeju.
Tapi aku sadar hal itu tak akan mungkin terjadi.
Shin Ae Unnie, di manapun kau sekarang,
aku hanya ingin mengucapkan terimakasih telah menjadi kakak yang baik untukku.
Aku menyayangimu, sampai jumpa.”
Park Shin Mi
Shin Mi melipat kertas itu
menjadi bentuk perahu. Ia sempat menciumnya sebelum melabuhkan perahu kertas
itu ke laut. Menuju lepas samudra ke tempat kakaknya. Goodbye, Park Shin Ae!
Sunken
Sewol Site (Lokasi Tenggelamnya Sewol), 18 April 2014
@09:15
Seorang penyelam bernama Lee
menyelam menyusuri bagian kanan kapal. Tentu kalian ingat, bagian kanan kapal
adalah tempat terakhir Park Shin Ae dan Park Su Hyeon berada. Tempat mereka
berdua menghabiskan waktu terakhir sisa hidup mereka.
“Ya Tuhan, aku tak tega melihat
ini,” kata Lee dalam hati.
Lee naik ke permukaan air dan
memanggil timnya untuk kembali ke bagian kanan kapal. Setelah 4 penyelam
menyusuri bilik kanan kapal, Lee menunjukkan pada mereka apa yang baru saja ia
temukan. Ketiga penyelam lain merasa tak tega jika harus mengangkat penemuan
itu.
“Ya Tuhan, kasihan sekali
mereka,” kata penyelam bernama Choi dalam hati.
“Aku tidak tega memisahkan
mereka. Satu jaket pelampung terikat kuat di tubuh mereka berdua. Apalagi Sang
Pria merangkul bahu gadis di sebelahnya. Mereka seperti tak ingin dipisahkan,”
gumam Lee.
“Apakah kita harus melepas jaket
pelampung yang mengikat mereka?” tanya Choi dengan isyarat jari karena tak bisa
berbicara di dalam air. Ketiga temannya mengangguk walau dengan berat hati.
Tubuh kaku dan beku milik Shin
Ae dan Su-Hyeon diangkat ke permukaan air. Seluruhnya berwarna biru pucat.
Bagaimana tidak, mereka berdua tenggelam di dalam air laut bersuhu 12º celcius
selama 2 hari.
“Sungguh aku tidak tega karena
telah melepas jaket pelampung yang mengikat tubuh mereka,” kata Lee setelah
sampai di kapal penyelamat mungkin
lebih cocok dibilang kapal pengangkut jenazah. Ia menutup 2 tubuh tak bernyawa
itu dengan kain.
“Aku lebih tidak tega lagi
ketika melepaskan tangan kanan Si Pria. Tangan itu mendekap bahu Si Wanita,”
sahut Choi.
“Ya, apalagi Si Wanita
menyandarkan kepalanya di dada temannya,” kata penyelam lain.
Danwoon
High School, Seoul 24 April 2014
Ruang
kelas 3.3
@9:15
Kim Ha Na sahabat Park Shin Ae, dan juga 174 korban
selamat tragedi Sewol kini telah kembali ke sekolah mereka, Danwoon High
School. Hana membawa rangkaian bunga krisan putih tanda belasungkawa. Ia
meletakkan bunga itu di bangku sebelahnya, bangku milik Park Shin Ae. Ia
memandang di sekelilingnya. Bunga-bunga krisan putih bergeletak di atas bangku
milik teman-teman sekelasnya yang lain. Dari 39 murid di kelas 3.3 yang
mengikuti perjalanan wisata ke Jeju, kini tinggal 8 orang yang bertahan hidup,
termasuk Hana. Hal ini tidak separah kelas 3.8. Seluruh muridnya ditemukan mati
karena tragedi mengerikan itu.
Hana menangis pilu di bangkunya.
Menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ia tak percaya bahwa sahabat
terbaiknya, sahabat yang selalu menghiburnya, sahabatnya yang ceria, kini telah
pergi. Hana meletakkan selembar surat perpisahan di atas bangku milik Park Shin
Ae.
“Aku
tak percaya kau pergi. Padahal aku telah memegang janjimu. Aku ingat janji yang
kau katakan bahwa kita akan bertemu di geladak kapal. Aku bertanya, “Bagaimana
jika kita tidak bertemu di geladak?” Setelah itu kau menjawab, “Aku akan
pastikan bahwa kita akan bertemu di pelabuhan.”
Aku
tak menemukanmu di geladak. Aku juga telah menunggumu sekian jam di pelabuhan.
Tapi kau tak kunjung datang. Sungguh, aku merasa begitu bersalah. Kau yang
telah menyelamatkanku. Kau yang telah membuatku pantang menyerah. Kau juga yang
menguatkan tekatku untuk hidup. Aku berhutang padamu, Sahabat! Tapi aku tahu,
aku tak akan pernah bisa membayar hutang itu.
Shin
Ae, sahabatku. Untung saja aku sempat mengatakan padamu bahwa aku menyayangimu.
Aku sedikit lega karena kau telah mendengar ucapan itu dari mulutku.
Terimakasih banyak, Park Shin Ae, Si Ceria dan pantang menyerah dari kelas 3.3.
Selamat tinggal!”
Kim Ha Na
Ruang
Kelas 3.1
@9:20
Seorang yeoja berjalan lemah menuju ke sebuah bangku di kelasnya, kelas
3.1. Ia membawa rangkaian bunga krisan putih dan sebuah botol yang berisi
tulisan. Kemudian yeoja itu
meletakkan apa yang ia bawa pada salah satu meja deretan nomor 3 dari belakang.
Saat meletakkan itu, air matanya
jatuh tak terbendung. Ia begitu sedih menyampaikan dukanya pada teman yang
sudah tiada.
Kelas 3.1. Ya, kelas itu adalah
ruang kelas milik Jung Cha Woong. Seseorang yang dicintai oleh Park Shin Ae.
Jika kembali membaca cerita ini, pasti kalian bisa menemukan kalimat yang
berbunyi seperti ini :
“Jung
Cha Woong, kau tak apa-apa?” tanyaku panik.
“Gwaenchana, hey, di mana
Sung-Won dan Yoo Shi Rin? Kau melihatnya, Shin Ae?”
“Aku hanya melihatmu saja. Aku
tak melihat mereka,” jawabku.
Benar, ini adalah percakapan
terakhir Park Shin Ae dengan Jung Cha Woong saat kapal mulai terbalik. Jung Cha
Woong berniat menyelamatkan dua orang sahabatnya, yaitu Sung-Won dan Yoo Shi
Rin. Sung-Won adalah seorang namja. Sampai
di sini kalian pasti bisa menebak bahwa yeoja
yang meletakkan bunga krisan putih tadi adalah Yoo Shi Rin.
Yoo Shi Rin yeoja berumur 18 tahun itu berhasil
selamat karena Chawoong. Ia ditarik oleh Chawoong saat ia terjebak di kabin
dengan air yang menenggelamkan kabinnya. Hidupnya dapat berlanjut. Namun Tuhan
berkehendak lain pada hidup Chawoong. Ia adalah orang pertama yang ditemukan
meninggal dalam kecelakaan Sewol.
Sebuah botol tergeletak di
samping bunga krisan putih di meja milik Chawoong. Di luar botol itu, tersemat
surat yang ditulis oleh Yoo Shi Rin. Surat ini bukanlah surat perpisahan,
melainkan surat cinta.
“Dear
Chawoong!
I
had a crush on you for a year. Aku akan mengatakan padamu bahwa aku
mencintaimu, tetapi mengapa kau tidak kembali? Aku menunggumu…
Aku
tidak peduli jika kau akan mengacuhkanku, hanya saja kau harus kembali
sekarang… Aku akan bahagia jika bisa melihatmu. Please come back!
Maukah
kau memberiku kesempatan untuk melihatmu? Berhentilah mematahkan hatiku dan
segeralah kembali… Aku merindukan senyuman terangmu. I miss your bright smile.
Seharusnya
aku mengatakan padamu bagaimana perasaanku. Seharusnya aku mengatakan padamu
‘aku mencintaimu’ Aku sangat menyesali itu. Aku merindukanmu, Chawoong…”
Yoo Shi
Rin
End
0 komentar:
Posting Komentar